Surabaya – Polda Jawa Timur mengamankan total 997 orang dalam aksi demonstrasi berujung ricuh yang terjadi di sejumlah wilayah Jatim pada akhir Agustus 2025. Dari jumlah tersebut, sebanyak 415 orang di antaranya merupakan anak berhadapan dengan hukum (ABH).
Kapolda Jatim Irjen Pol Nanang Avianto mengatakan, aksi unjuk rasa berujung anarkis itu terjadi di 10 daerah, seperti Surabaya, Sidoarjo, Malang, Kediri, hingga Jember. Massa dilaporkan melakukan perusakan hingga pembakaran berbagai fasilitas umum.
“Ketika menangkap para pelaku, kami memilah dengan hati-hati. Sebanyak 682 orang kami pulangkan, karena masih anak-anak, sebagian besar pelajar SMA ke bawah,” kata Nanang kepada wartawan, Jumat (19/9/2025).
Sementara 315 orang lainnya diproses hukum lebih lanjut, setelah ditemukan indikasi keterlibatan aktif dalam tindakan anarkis seperti perusakan, penjarahan, hingga pembakaran.
Gelombang kericuhan ini meninggalkan kerugian besar yang ditaksir mencapai Rp256 miliar. Polda Jatim mencatat, sekitar Rp214 miliar merupakan kerugian yang ditanggung pemerintah daerah, sementara sisanya Rp42 miliar ditanggung oleh Polri.
Kerusakan yang ditimbulkan meliputi ratusan fasilitas publik, termasuk pos polisi, gedung kepolisian, kantor pemerintahan, fasilitas jalan, dan kendaraan operasional. Beberapa di antaranya bahkan dirusak menggunakan molotov dan alat berat, serta dijarah.
Kapolda Jatim menyesalkan banyaknya anak dan remaja yang ikut dalam aksi tersebut, yang sebagian besar diduga terprovokasi melalui konten di media sosial.
“Ini sangat disayangkan. Bijaksanalah dalam bermedia sosial, bedakan mana yang baik dan buruk, mana yang harus diikuti dan mana yang tidak,” ujar Nanang.
Polda Jatim menegaskan bahwa proses hukum masih akan terus berjalan, termasuk upaya untuk mengungkap aktor intelektual di balik rentetan kerusuhan tersebut.
“Kami akan mengumpulkan bukti hingga mengerucut kepada siapa dalang peristiwa ini, agar penegakan hukum bisa dilakukan secara maksimal,” pungkasnya.
Polda juga mengimbau masyarakat, terutama orang tua dan pendidik, untuk lebih ketat mengawasi aktivitas anak-anaknya, baik di dunia nyata maupun digital, agar tidak menjadi korban provokasi dan propaganda yang menyesatkan.