AGAM — Sebanyak 113 siswa dari sejumlah sekolah dasar dan menengah di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, mengalami keracunan massal usai mengonsumsi makanan dari program Makanan Bergizi Gratis (MBG). Insiden ini terjadi sejak Rabu (1/10/2025) dan membuat puluhan siswa harus dilarikan ke fasilitas kesehatan terdekat untuk mendapatkan penanganan medis.
Para siswa dilaporkan mulai menunjukkan gejala mual muntah, pusing, hingga diare beberapa jam setelah menyantap menu nasi goreng yang disediakan dalam program MBG. Sebagian dari mereka dirawat di Puskesmas Manggopoh, sementara sisanya dirujuk ke RSUD Lubuk Basung. Hingga Kamis (2/10/2025), total 113 siswa tercatat menjalani perawatan akibat dugaan keracunan makanan.
Pemerintah Kabupaten Agam langsung merespons cepat dengan menggelar rapat koordinasi lintas instansi. Sekretaris Daerah Kabupaten Agam, Muhammad Luthfi, menyampaikan bahwa pemerintah daerah telah menetapkan kejadian ini sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).
“Sesuai dengan kesepakatan rapat tadi malam, Pak Bupati sudah menetapkan kasus ini sebagai KLB,” ujarnya, Kamis (2/10/2025).
Pihaknya juga tengah melakukan pelacakan terhadap sekolah-sekolah lain yang ikut menerima pasokan makanan dari penyedia yang sama. Langkah ini diambil guna mencegah potensi kasus serupa terjadi kembali serta memastikan makanan yang akan dibagikan ke siswa benar-benar aman dikonsumsi.
Di sisi lain, muncul sorotan terhadap sistem pengelolaan program MBG, terutama terkait pengawasan kualitas bahan makanan dan proses distribusi. Banyak pihak menilai, penyediaan makanan dalam skala besar membutuhkan kualitas pengendalian yang ketat demi menjamin keamanan pangan para siswa.
Seorang dosen dari Fakultas Kedokteran Universitas Andalas menjelaskan bahwa risiko keracunan makanan dalam skala besar bisa terjadi jika proses pengolahan tidak memenuhi standar kebersihan dan kontrol yang memadai. Dari pemilihan bahan, penggunaan air, hingga proses memasak dan distribusi, semuanya harus diawasi ketat untuk mencegah kontaminasi yang bisa membahayakan kesehatan konsumen.
Pada kasus serupa di negara lain, sistem pengelolaan makanan sekolah umumnya dilakukan dalam skala terbatas dengan pengawasan yang ketat. Hal ini dinilai lebih efektif dalam menjaga kualitas makanan dan menekan risiko penyebaran penyakit akibat makanan tercemar.
Kasus di Agam menjadi pengingat bahwa program-program bergizi yang ditujukan untuk meningkatkan kesehatan pelajar tetap harus disertai dengan standar pelaksanaan yang baik. Pemerintah daerah kini tengah mengevaluasi ulang seluruh prosedur dalam program MBG, termasuk kerja sama dengan penyedia makanan.
Hingga kini, kondisi siswa yang dirawat dilaporkan mulai membaik. Namun, penyelidikan lebih lanjut terhadap penyebab pasti keracunan masih terus dilakukan, termasuk uji laboratorium terhadap sampel makanan dan air yang digunakan dalam proses pengolahan.