Jakarta | Kasus keracunan makanan bergizi gratis (MBG) yang diberikan kepada siswa sekolah terus bertambah sejak program diluncurkan secara resmi oleh Presiden RI Prabowo Subianto pada 6 Januari 2025. Hingga pertengahan September 2025, laporan kasus keracunan telah terjadi di berbagai daerah dengan jumlah korban yang terus meningkat.
Berdasarkan data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), sedikitnya 5.360 anak mengalami keracunan setelah mengonsumsi makanan dari program MBG. Angka tersebut diperoleh dari hasil pemantauan JPPI di berbagai wilayah Indonesia yang tercatat hingga pertengahan September. Menurut organisasi ini, kemungkinan besar jumlah sebenarnya jauh lebih tinggi, karena diduga terdapat upaya penutupan informasi dari sejumlah sekolah atau pemerintah daerah.
JPPI menilai bahwa kejadian berulang ini mencerminkan persoalan sistemik dalam pelaksanaan program MBG. Organisasi ini menyebut bahwa kondisi tersebut tak lagi bisa dianggap sebagai kesalahan teknis semata, tetapi mencerminkan kegagalan tata kelola distribusi dan pengawasan makanan yang dikoordinasikan oleh Badan Gizi Nasional (BGN). Mereka menyebut situasi ini sebagai darurat kemanusiaan nasional dan meminta Presiden serta BGN untuk tidak lagi menutup mata atas tragedi yang terjadi di berbagai daerah.
Peningkatan kasus disebut JPPI terjadi dalam hal jumlah korban maupun sebaran lokasi, yang menunjukkan bahwa risiko keracunan tidak terkonsentrasi di wilayah tertentu saja. Laporan terbaru menyebutkan bahwa distribusi MBG yang tidak terkontrol, buruknya rantai penyimpanan makanan, serta lemahnya kapasitas penjamah makanan, turut menyebabkan kerentanan tinggi terhadap insiden ini.
Lembaga riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) juga mengangkat persoalan serupa. Dalam presentasi Kepala Pusat Ekonomi Digital dan UMKM INDEF, Izzudin Al Farras, pada awal September lalu, disebutkan bahwa lebih dari 4.000 anak menjadi korban keracunan sejak delapan bulan pertama pelaksanaan MBG. Selain itu, ditemukan pula banyak menu yang tidak memenuhi standar kelayakan konsumsi, baik dari segi kebersihan, bentuk penyajian, maupun kandungan gizi.
Menanggapi kondisi ini, Badan Gizi Nasional menyatakan telah mengambil sejumlah langkah penanganan dan pencegahan. Kepala BGN, Dadan Hindayana, menjelaskan bahwa pihaknya telah menyusun dan menerbitkan dokumen Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) sebagai pedoman bagi seluruh pelaksana program di lapangan. Langkah ini disertai dengan rutinitas pelatihan bagi para penjamah makanan, serta pengawasan ketat oleh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di daerah.
BGN juga memanfaatkan media sosial sebagai ruang pelaporan, edukasi, dan pengawasan partisipatif. Melalui Gerakan Pemantauan Bersama Masyarakat dan Sekolah, diharapkan tercipta transparansi dalam pelaksanaan program MBG, serta respons cepat terhadap aduan masyarakat.
Selain strategi pengawasan internal, organisasi BGN turut memperkuat kerja sama dengan pemerintah daerah dalam penanganan kejadian luar biasa (KLB) dan kasus keracunan massal. Dadan menyatakan bahwa struktur organisasi BGN telah diperkuat pasca reshuffle kabinet beberapa waktu lalu, dengan ditunjuknya tiga orang wakil kepala berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 97/P Tahun 2025. Ketiga wakil kepala tersebut, yakni Mayjen Lodewyk Pusung, Nanik Sudaryati Deyang, dan Brigjen Pol Sony Sonjaya, akan memiliki peran khusus masing-masing, termasuk dalam mengevaluasi langsung di lapangan jika terjadi keracunan makanan akibat program MBG.
Dadan menjelaskan bahwa penambahan posisi wakil kepala ini dilakukan seiring dengan berkembangnya organisasi dan meningkatnya anggaran serta kompleksitas pelaksanaan program. Masing-masing wakil diharapkan mampu hadir langsung di lokasi kejadian untuk memastikan penyebab insiden dan menindaklanjuti temuan secara cepat dan akurat.
Meskipun sejumlah upaya telah dilakukan, desakan terhadap pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap program MBG kian meningkat. Banyak pihak menilai bahwa distribusi makanan bergizi di sekolah tidak cukup hanya didasari oleh niat baik, tetapi memerlukan sistem pelaksanaan yang kuat serta pengawasan melekat demi menjamin keamanan dan hak dasar anak untuk memperoleh makanan sehat.