Lamongan | Kasus keracunan makanan yang dialami sejumlah siswa di SMA Negeri 2 Lamongan memicu perhatian serius dari berbagai pihak, termasuk kalangan legislatif daerah. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang seharusnya menjadi solusi peningkatan gizi pelajar justru menimbulkan dampak kesehatan yang merugikan.
Wakil Ketua II DPRD Lamongan, Husen, menyesalkan insiden tersebut dan mendorong evaluasi menyeluruh terhadap pengelolaan MBG di sekolah-sekolah. Ia menilai pentingnya standar ketat dalam distribusi makanan, mulai dari proses persiapan hingga penyajiannya kepada siswa.
Menurutnya, persoalan pangan di lingkungan pendidikan tidak bisa diperlakukan sebagai hal teknis semata. Keselamatan penerima manfaat, dalam hal ini para siswa, harus menjadi prioritas utama.
“Masalah makanan itu bukan hal sepele. Jika lalai, dampaknya bisa sangat berbahaya, apalagi karena ini program bantuan yang seharusnya memprioritaskan keselamatan anak-anak,” ujarnya saat dikonfirmasi, Jumat (19/9/2025).
Ia juga mengingatkan para penyedia makanan yang bekerja sama dengan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) untuk tidak abai terhadap prosedur keamanan pangan. Perlu ada profesionalisme yang tinggi dari tim dapur, terutama karena skala produksi yang melibatkan ribuan porsi makanan setiap hari.
Husen, yang juga menjabat Ketua DPC PDI Perjuangan Lamongan, mengusulkan pelibatan petugas Unit Kesehatan Sekolah (UKS) dalam proses pemeriksaan kualitas makanan sebelum disalurkan. Menurutnya, langkah itu dapat menjadi bentuk antisipasi dini terhadap kemungkinan makanan yang tidak layak konsumsi.
“Bisa melibatkan petugas UKS yang terlatih untuk memeriksa kualitas makanan. Dengan begitu, makanan yang sampai ke siswa benar-benar aman dan bergizi,” imbuhnya.
Selain kasus keracunan di SMAN 2 Lamongan, sejumlah laporan serupa juga muncul dari sekolah-sekolah lain. Terdapat temuan makanan basi dan berjamur yang didistribusikan dalam program MBG. Kondisi ini menunjukkan perlunya pengawasan harian dari pemerintah daerah terhadap jalannya program.
Husen mendorong dibentuknya tim khusus pengawasan di tingkat kabupaten yang bertugas merespons cepat setiap laporan dari sekolah. Menurutnya, ketegasan perlu diambil terhadap penyedia makanan yang tidak mematuhi standar kebersihan dan gizi.
“Kalau pengelola dapur terus menyepelekan masalah ini, Pemda harus mencabut izin mereka dan mencari pengganti yang lebih kompeten,” katanya.
Sementara itu, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, menyampaikan bahwa salah satu tantangan utama dalam pelaksanaan MBG adalah ketidaksesuaian kapasitas penyedia makanan dengan skala permintaan. Ia mencontohkan banyaknya penjamah makanan yang terbiasa memasak dalam jumlah terbatas sehingga kesulitan saat harus menyiapkan ribuan porsi dalam waktu singkat.
“Memasak untuk 1.000 hingga 3.000 porsi jelas berbeda dengan memasak untuk 4 hingga 10 orang. Kami sarankan agar pendistribusian makanan dilakukan bertahap, mulai dari dua sekolah per hari,” jelas Dadan.
Ia menambahkan bahwa meskipun terjadi insiden di lapangan, pemerintah tetap menargetkan pelaksanaan program MBG dengan prinsip ‘zero incident’. Keselamatan dan kesehatan siswa harus tetap menjadi fondasi utama pelaksanaan program.
“Tujuan utama dari MBG adalah untuk memastikan anak-anak mendapatkan makanan yang sehat dan bergizi tanpa membahayakan kesehatan mereka. Kami ingin anak-anak tumbuh cerdas dan kuat, dan itu dimulai dari asupan makanan yang baik,” ujarnya.
Kasus di Lamongan menjadi pengingat bahwa program skala nasional seperti MBG membutuhkan sistem yang solid, baik dari aspek perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan harian. Pemerintah daerah diminta segera memperkuat koordinasi antarinstansi dan memastikan seluruh proses distribusi makanan berjalan sesuai protokol yang telah ditetapkan.