Selvilia Normadi, S.Pd
(Pemerhati Sosial)
Masyarakat terperanjat berita hebohnya kenaikkan pajak Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di kota Pati. Belum hilang dari permukaan kemudian disusul kenaikan pajak di kota Balikpapan hingga belakangan ini menjadi sorotan masyarakat. Banyak warga mengaku terkejut dengan nominal pajak yang melonjak drastis hingga berkali-kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Salah satu warga menuturkan, biasanya ia hanya membayar Rp306 ribu per tahun. Namun tahun ini tagihannya mencapai Rp9,5 juta untuk bidang tanah seluas 1 hektar di kawasan Balikpapan Timur. (kaltim.tribunnews.com)
Meski akhirnya Pemkot Balikpapan melakukan penundaan dan memberikan stimulus berupa pengurangan PBB hingga 90 persen dari ketetapan pokok. Kebijakan tersebut tetap menuai kritik keras dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Organisasi mahasiswa itu menilai langkah pemerintah tidak berpihak pada masyarakat kecil. (www.niaga.asia)
Kondisi mengecewakan yang tidak berpihak pada masyarakat kecil bukan hanya dialami oleh kota Balikpapan, sebelumnya kota Pati (bupati yang heboh didemo karena naikan pajak). Pasalnya kenaikan pajak di kota Balikpapan sendiri kenaikan tarif pajak sampai 3000 persen. Beban rakyat yang berat sebelum turunnya kebijakan kenaikan pajak ini, tentu akan tambah memberatkan beban rakyat. Pasalnya hal ini tanpa diiringi tingkat kesejahteraan yang layak.
Lagi-lagi kebijakan yang dibuat menjadikan rakyat selalu menjadi korban. Sebab pajak dibebankan pada mereka. Negeri yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) bukan menjadi dalih untuk tidak membebankan rakyat. Bukan hanya hasilnya tidak dapat dinikmati karena pengelolaan yang diserahkan pada asing dan swasta. Melainkan juga tidak dapat menjadikan pendapatan utama negara. Hingga pajak dijadikan solusi.
Biang keladi kericuhan ini adalah sistem kapitalisme sekuler. Sesuai dengan namanya, kapitalisme sekuler jelas merupakan sistem yang bertentangan dengan Islam karena menolak hukum-hukum Allah Swt. dalam kehidupan. Tentu kebijakan yang dibuat tetap disahkan walaupun mendzolimi masyarakat. Pajak dalam sistem Kapitalisme merupakan sumber pendapatan utama. Pajak menjadi tumpuan pemasukan APBN, bahkan pemerintah mencari objek pajak baru (semuanya seakan tak luput dari pajak) selanjutnya pajak yang sudah ada, tarifnya dinaikkan berkali-kali lipat, seperti PBB.
Pajak dalam kapitalisme zalim dan mengambil harta masyarakat. Masyarakat yang berharap pajak yang diambil dari harta mereka dapat memberi kesejahteraan, hanya angan-angan. Pasalnya, hal itu malah digunakan untuk proyek-proyek yang menguntungkan kapitalis dan wakil rakyat.
Adanya penundaan ataupun keringanan PBB tidak akan menghilangkan fakta bahwa kebijakan kenaikan pajak dilakukan jelas zalim, dan tentu masyarakat yang akan menjadi korban diterapkan kebijakan ini. Hal tersebut lantaran makin menambah beban masyarakat ditengah kondisi ekonomi yang semakin sulit. Penguasa hanya populis otorutarianism, dia yang menaikkan dia pula yang seolah pahlawan. Tidak cukup ganti penguasa tapi saatnya ganti sistem karena ini kerusakan sistem Kapitalisme.
Berbeda dengan Islam, pajak dalam Islam hanya dipungut dari lelaki muslim yang kaya, untuk keperluan urgen yang sudah ditentukan syariat sebagaimana tercantum dalam kitab Al-Amwal, sifatnya temporer hanya ketika kas negara kosong. Islam memandang pajak (dharibah) sebagai alternatif terakhir sumber pendapatan negara. Islam memiliki sumber pendapatan yang banyak dan beragam. Dengan pengaturan sistem politik dan ekonomi Islam, negara yang menerapkan Islam secara kaffah ( Khilafah) akan mampu menjamin kesejahteraan rakyat individu perindividu.
Islam juga menetapkan penguasa sebagai rain dan junnah, dan mengharamkan penguasa untuk menyentuh harta rakyat. Bukan hanya itu saja baitulmal yang merupakan tempat kas negara memiliki banyak pemasukan, bukan bersandar pada pajak. Salah satu pemasukan terbesar dari pengelolaan SDA milik umum oleh negara yang tidak diserahkan pada swasta. Tentu hal ini hanya dapat dilakukan oleh negara yang melakukan penerapan Islam secara kaffah (keseluruhan). Dan hal ini merupakan perjuangan yang urgent, karena kerusakan kapitalis makin mengganas. Hukum terbaik adalah hukum Allah, sebagaimana firman-Nya, yang artinya “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (TQS Al-Maidah [5]: 50