Oleh : Lili Agustiani, S. Pd
Pada Senin, 1 September 2025, berlangsung aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRD Kota Balikpapan yang digagas Aliansi Balikpapan Bergerak. Tak hanya mahasiswa, seorang ibu memakai jilbab merah muda turut orasi dengan berani di atas atap mobil pikap.
Ia adalah Wa Ma’ani, ibu rumah tangga dari Kelurahan Batu Ampar, Balikpapan Utara, yang menyampaikan keluhannya secara terbuka. Ia membawa poster bergambar tengkorak bajak laut bertuliskan, “Penguasa Merdeka Rakyat Menderita”.
Dalam orasinya, Wa Ma’ani menyatakan enam anaknya mengalami kesulitan saat mendaftar ke jenjang sekolah menengah pertama, merasa dipersulit oleh mekanisme pendaftaran.
Aksi tersebut mendapat perhatian Wakil Ketua DPRD Balikpapan, Budiono, yang ditemui di sela-sela demonstrasi. Ia menjelaskan regulasi zonasi sekolah adalah kewenangan pemerintah pusat dan DPRD Provinsi, bukan DPRD kota Balikpapan.
Budiono menyatakan, “Jika masih ada kendala dalam penerapannya, DPRD Balikpapan berjanji akan menyampaikan ke pemerintah pusat.” Pernyataan ini menunjukkan DPRD kota menempatkan tanggung jawab pada tingkat yang lebih tinggi. Ia juga mengimbau massa untuk menjaga kondusivitas kota agar tetap tertib dan aman.
Budiono menekankan bahwa Balikpapan adalah kota yang perlu dijaga bersama, dan ia pun menyerukan agar warga bersama-sama membangun dan mempertahankan kota tersebut. Poin ini menegaskan upaya DPRD kota untuk merespons aspirasi publik meski kapabilitasnya terbatas.
Pernyataan lembaga ini menjadi penting sebagai upaya penyaluran aspirasi warga melalui saluran resmi. Isu yang disuarakan oleh Wa Ma’ani mencerminkan tantangan nyata dalam sistem pendidikan dan prosedur pendaftaran sekolah. Aksi ini sekaligus menjadi catatan penting bagi evaluasi kebijakan zonasi pendidikan di tingkat lokal maupun nasional.
Persoalan negeri saat ini semakin kompleks dan sistemis. Salah satunya adalah masalah pendidikan, di mana seharusnya setiap anak berhak mendapatkan akses pendidikan yang layak tanpa hambatan.
Namun kenyataan di lapangan menunjukkan banyak anak kesulitan bahkan gagal melanjutkan sekolah karena faktor administrasi maupun kondisi ekonomi keluarga.
Negara yang berkewajiban memenuhi hak pendidikan bagi seluruh rakyat justru gagal menunaikan tanggung jawab tersebut. Akhirnya, banyak anak dari kalangan masyarakat kecil terancam putus sekolah atau tidak bisa menikmati pendidikan dengan semestinya.
Masalah pendidikan di negeri ini tidak hanya sekadar soal fasilitas, tetapi juga sistem yang diterapkan. Contohnya, kebijakan zonasi sekolah yang digadang-gadang untuk pemerataan justru menimbulkan problem baru.
Banyak orang tua mengeluhkan anaknya tidak diterima di sekolah yang diinginkan karena terbentur aturan zonasi. Di sisi lain, jalur prestasi dan afirmasi justru menciptakan kelas-kelas dalam dunia pendidikan.
Akibatnya, terjadi ketimpangan jumlah murid, kualitas guru, hingga layanan pendidikan antarwilayah. Hal ini semakin menambah jurang perbedaan antara masyarakat mampu dengan masyarakat kecil.
Dampak dari berbagai kebijakan ini membuat masyarakat semakin terhimpit. Alih-alih menghadirkan solusi, kebijakan yang ada justru memperpanjang derita rakyat. Tidak heran jika unjuk rasa bermunculan, seperti aksi seorang ibu yang menyuarakan kesulitan anak-anaknya bersekolah di Balikpapan.
Sayangnya, tuntutan yang muncul dalam aksi semacam itu baru sebatas menyinggung cabang persoalan. Padahal, akar masalah yang lebih mendasar justru ada pada arah kebijakan pendidikan nasional yang tidak berpihak kepada rakyat secara menyeluruh. Inilah yang menjadikan problem pendidikan semakin kronis.
Jika ditelusuri lebih jauh, akar persoalan lahir dari cara pandang negara terhadap rakyat. Negara memposisikan diri sekadar sebagai regulator, bukan sebagai pengurus (ro’in) yang bertanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan rakyat.
Pendidikan yang seharusnya menjadi hak dasar rakyat diperlakukan sebagai layanan yang diatur dengan regulasi teknis, bukan dijamin sepenuhnya oleh negara. Akibatnya, banyak aturan zalim yang mempersulit rakyat, terutama kaum lemah. Hal ini menunjukkan hilangnya fungsi negara sebagai pengurus urusan umat sebagaimana mestinya.
Asas yang melahirkan kebijakan zalim tersebut adalah sistem kapitalisme sekuler. Sistem ini memisahkan agama dari kehidupan, sehingga orientasi kebijakan lebih mengutamakan efisiensi, regulasi teknis, dan keuntungan pihak tertentu, bukan kemaslahatan umat.
Dalam kerangka kapitalisme, pendidikan dipandang sebagai beban biaya, bukan kewajiban negara yang harus dijamin. Inilah penyebab utama kenapa banyak rakyat kesulitan mengakses pendidikan.
Selama sistem kapitalisme sekuler ini masih menjadi dasar, problem pendidikan dan problem sistemik lainnya akan terus berulang tanpa pernah terselesaikan.
Islam memandang pendidikan sebagai hak dasar setiap rakyat, bukan sekadar layanan administratif. Dalam sistem Islam, negara wajib menjamin pendidikan yang mudah, gratis, dan berkualitas bagi seluruh lapisan masyarakat.
Hal ini tidak dibebankan kepada individu atau keluarga, melainkan menjadi tanggung jawab penuh negara sebagai pengurus (ro’in) umat. Dengan prinsip ini, tidak ada lagi anak yang terhalang sekolah hanya karena miskin, aturan zonasi, atau syarat administrasi. Semua anak berhak mendapatkan pendidikan terbaik tanpa diskriminasi.
Sistem pendidikan Islam memiliki sejarah panjang yang membuktikan keberhasilannya melahirkan generasi gemilang. Khalifah dalam Daulah Islam menaruh perhatian besar pada pembangunan sekolah, penyediaan guru berkualitas, dan penyediaan sarana-prasarana pendidikan secara merata.
Tidak hanya itu, pendidikan dalam Islam dirancang untuk mencetak manusia beriman, berilmu, dan berakhlak mulia, sekaligus menguasai sains dan teknologi. Dengan demikian, sistem pendidikan Islam tidak hanya mengatasi persoalan teknis, tetapi juga membangun peradaban.
Islam tidak berhenti pada solusi pendidikan semata, melainkan memberikan jalan keluar komprehensif bagi seluruh aspek kehidupan. Sistem politik, ekonomi, sosial, hingga hukum dalam Islam berjalan selaras demi kesejahteraan rakyat.
Dengan asas Islam, negara hadir sebagai pengurus dan pelindung rakyat, bukan sekadar regulator. Karena itu, penerapan Islam secara menyeluruh adalah solusi nyata bagi berbagai persoalan negeri ini, termasuk pendidikan yang adil, gratis, dan berkualitas. Inilah jalan yang harus diperjuangkan umat agar masalah tidak terus berulang. Wallahua’lam bishowab