Konawe – Sulawesi Tenggara. Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Media Online Indonesia (MOI) Provinsi Sulawesi Tenggara, Suhardi, mengecam keras dugaan tindakan intimidasi dan perlakuan tidak pantas yang dilakukan oknum anggota Polres Konawe terhadap jurnalis saat melaksanakan tugas jurnalistik di Desa Tawamelewe, Kecamatan Uepai, Kabupaten Konawe.
Kejadian bermula ketika sejumlah wartawan melakukan peliputan berdasarkan permintaan masyarakat setempat. Namun, bukannya mendapat perlindungan sebagaimana diamanatkan undang-undang, para jurnalis justru diperlakukan layaknya pelaku kejahatan. Salah seorang wartawan yang ikut meliput menuturkan, mereka disuruh berbaris, diperiksa, bahkan diperlakukan seperti tersangka kasus narkoba. “Saya pribadi merasa sangat dilecehkan dengan perlakuan buruk oknum anggota Polres Konawe,” ungkap salah satu jurnalis korban intimidasi.
Informasi terbaru menyebutkan bahwa oknum yang melakukan tindakan arogan tersebut adalah anggota Intel Polres Konawe. Hingga berita ini diturunkan, pihak Polres Konawe belum memberikan klarifikasi resmi terkait siapa oknum yang dimaksud serta dugaan pelanggaran etik dan arogansi yang dilakukan.
Ketua DPW MOI Sultra, Suhardi, menilai tindakan itu sebagai bentuk kebodohan dan arogansi yang mencederai citra Polri di mata publik. Ia menegaskan bahwa perilaku semacam ini justru merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian. “Oknum polisi model seperti ini yang merusak kepercayaan masyarakat terhadap Polri. Tindakan intimidatif terhadap wartawan jelas melanggar hukum dan kode etik profesi Polri. Aparat seharusnya melindungi, bukan memperlakukan jurnalis layaknya penjahat,” kata Suhardi.
Lebih lanjut, DPW MOI Sultra bersama Koalisi Organisasi Pers di Sulawesi Tenggara menegaskan akan menempuh langkah hukum dengan mengadukan kasus ini kepada Irwasda Polda Sultra. Mereka juga mendesak agar dilakukan penyelidikan mendalam atas dugaan pelanggaran Undang-Undang Pers dan etik profesi Polri. Dalam keterangan resminya, MOI menyebutkan sejumlah aturan yang dilanggar, mulai dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menegaskan bahwa wartawan berhak mendapat perlindungan hukum, hingga Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian yang menugaskan aparat untuk memelihara keamanan, ketertiban, serta memberikan perlindungan kepada masyarakat. Selain itu, Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang implementasi prinsip HAM juga dilanggar, khususnya pada pasal yang mengatur kewajiban anggota Polri untuk menghormati harkat dan martabat manusia. Kode Etik Profesi Polri yang melarang tindakan sewenang-wenang atau penyalahgunaan kewenangan juga menjadi rujukan utama dalam kasus ini.
Sejumlah desakan pun disampaikan kepada aparat. MOI Sultra meminta Polda Sultra segera memeriksa oknum anggota Polres Konawe yang diduga melakukan intimidasi, sementara Kapolres Konawe diminta untuk segera mengungkap identitas oknum tersebut. Propam Polri juga didesak menindak tegas sesuai aturan etik dan disiplin Polri. Tidak hanya itu, Kapolres Konawe diminta memberikan klarifikasi terbuka kepada publik serta menyampaikan permintaan maaf resmi, termasuk mempertemukan pelaku dengan jurnalis yang merasa diintimidasi. Mereka juga menuntut adanya jaminan perlindungan terhadap wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistik, sesuai amanat Undang-Undang Pers.
Peristiwa ini menjadi peringatan keras bagi institusi Polri untuk melakukan evaluasi internal. Tugas wartawan adalah menyampaikan informasi kepada publik, sementara polisi bertugas melindungi masyarakat, termasuk insan pers. Jika aparat justru melakukan intimidasi, maka kepercayaan publik terhadap Polri akan semakin runtuh, dan hal ini dapat menggerus legitimasi institusi penegak hukum di mata masyarakat. (*)