Papua Tengah — Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT-TUN) Manado dinilai melakukan penyelundupan fakta hukum dalam perkara yang menyeret Bupati Paniai dan Gubernur Provinsi Papua Tengah terkait penetapan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Paniai terpilih periode 2024-2029 jalur pengangkatan Orang Asli Papua (OAP) untuk keterwakilan perempuan.
Perkara yang teregister dengan No. 05/G/2025/PTTUN.MDO., itu diajukan oleh Ance Boma dari Daerah Pengangkatan II Paniai selaku Penggugat melawan Bupati Paniai selaku Tergugat I dan Gubernur Papua Tengah selaku Tergugat II.
Pengacara Penggugat, Frederika Korain, S.H., MAAPD., dari kantor hukum Veritas Law Office menyatakan dugaan penyelundupan fakta hukum itu terlihat jelas dimana antara fakta hukum yang dimuat dalam putusan sangat bertentangan dengan bukti-bukti di persidangan.
Pertama, di persidangan Para Tergugat secara terang dan jelas sudah mengakui secara eksplisit melalui bukti dan Daftar Alat Bukti (DAB) bahwa hasil seleksi baru diumumkan tanggal 2 Mei 2025. Hal ini dibenarkan pula oleh Ketua Panitia Seleksi dimuka persidangan. Anehnya, majelis hakim dalam putusan menyatakan bahwa ,hasil seleksi sudah diumumkan tanggal 10 Februari 2025.
Kedua, majelis hakim menyatakan Tergugat I dalam hal ini Bupati Paniai, tidak mengajukan bukti surat maupun saksi, meskipun telah diberi kesempatan yang patut oleh pengadilan. Padahal faktanya, Para Tergugat sudah mengajukan bukti secara bersama-sama dengan kode bukti T-1 sampai dengan T-13.
Ketiga, majelis hakim dalam putusannya tidak cermat dan hati-hati dengan menyatakan Gubernur Papua Barat Daya menetapkan Panitia Seleksi anggota DPRK Paniai melalui mekanisme pengangkatan. Padahal faktanya, Kabupaten Paniai merupakan kabupaten di wilayah Provinsi Papua Tengah.
“Kejanggalan-kejanggalan dalam putusan itu begitu mudah di melalui dokumen-dokumen persidangan” ujar Rika.
Upaya Hukum
Menanggapi putusan itu, Fatiatulo Lazira, S.H., selaku kuasa hukum Penggugat lainnya menyatakan sudah menempuh upaya hukum.
“Secara resmi, kami sudah mengajukan upaya hukum di Mahkamah Agung RI pada 25 Agustus 2025”, kata Fati.
Menurut Fati, putusan yang dinilai menyelundupkan fakta-fakta hukum itu telah menciderai rasa keadilan dan mengaburkan tegaknya kebenaran.
Ia juga menyatakan sudah mengajukan pengaduan terhadap majelis hakim atas dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim kepada Badan Pengawas (Bawas) Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, termasuk mempersiapkan pengaduan di Bareskrim Polri atas dugaan tindak pidana pemalsuan.
“Kami juga minta agar Pengadilan Negeri Nabire tidak melakukan pelantikan terhadap anggota DPRK Paniai yang sedang dalam sengketa ini, demi tegakknya hukum dan keadilan”, tutupnya.