KONAWE — Asap tipis mengepul dari tanah yang baru dibongkar. Di kejauhan, suara mesin berat terdengar terus menerus memecah kesunyian. Di tengah lanskap pedesaan yang lengang, sebuah motor grader tampak sibuk menggaruk permukaan jalan, meratakan timbunan tanah merah di ruas utama Desa Garuda, Kecamatan Asinua, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.
Sabtu (26/7/2025) pagi, aktivitas itu menjadi bagian dari pengerjaan fisik dalam program TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) ke-125 Kodim 1417/Kendari. Sebuah program tahunan TNI yang menyasar perbaikan infrastruktur dasar di wilayah terpencil. Di Konawe, salah satu fokus utamanya adalah membuka akses jalan desa yang selama ini terisolasi karena rusak dan sulit dilalui.
Jalan desa yang dikerjakan itu, selama bertahun-tahun, hanya menjadi jalur tanah yang berlubang dan tergenang air ketika musim hujan. Warga, utamanya petani dan anak-anak sekolah, sering kali harus berjalan kaki dengan penuh risiko, membawa hasil kebun, atau sekadar menuju puskesmas pembantu terdekat yang berjarak belasan kilometer.
Kini, di tangan operator berat dan pengawasan personel TNI, jalan sepanjang ratusan meter mulai ditimbun dan diratakan.
“Motor grader ini sangat membantu. Bukan hanya meratakan timbunan tanah, tapi juga membuka harapan baru bagi mobilitas warga,” ujar Lettu Inf Rasman, Komandan SST TMMD 125 di lokasi kegiatan.
Dalam pelaksanaan TMMD ini, sejumlah alat berat lain juga dikerahkan untuk mempercepat pekerjaan. Selain motor grader, ada pula ekskavator dan dump truck yang hilir mudik membawa material timbunan.
Namun pembangunan fisik bukan semata urusan teknis. Rasman menyebut, seluruh aktivitas di lapangan mendapat pengawasan ketat dari anggota Satgas TMMD. Mereka bertugas menjaga keselamatan warga, mengatur lalu lintas di jalur pengerjaan, hingga membantu komunikasi antara operator alat berat dengan masyarakat sekitar.
“Kami tidak ingin ada yang celaka. Masyarakat antusias, dan ini harus dikelola dengan tertib,” katanya.
Bagi masyarakat Desa Garuda, jalan yang kini dibangun bukan sekadar jalur darat. Ia menjadi simbol keterhubungan. Keterhubungan antara hasil panen dengan pasar. Antara anak-anak desa dengan pendidikan. Dan antara warga dengan pelayanan kesehatan yang sebelumnya terlalu jauh dijangkau.
Selama ini, akses jalan menjadi salah satu tantangan terbesar yang menghambat pembangunan ekonomi di wilayah Asinua. Ongkos distribusi barang tinggi, waktu tempuh ke kota bisa berjam-jam, dan tak jarang kendaraan pribadi mengalami kerusakan karena medan yang ekstrem.
Dalam konteks itulah, kehadiran TMMD dirasakan benar oleh masyarakat. Bahkan sebelum pengerjaan rampung, warga telah ikut membantu secara sukarela—mulai dari mengangkut material ringan, membersihkan semak di pinggir jalan, hingga menyiapkan konsumsi bagi para personel yang bekerja di lapangan.
Dengan waktu pelaksanaan terbatas, pekerjaan fisik TMMD 125 berpacu dengan target. Seluruh jalan ditargetkan rampung sebelum penutupan program.
“Kami ingin ketika TMMD ditutup nanti, warga bisa langsung merasakan manfaatnya. Mobil bisa masuk desa. Hasil kebun tidak lagi dipanggul dengan karung. Itu tujuan utamanya,” ujar Rasman.
Di tengah segala keterbatasan logistik, medan, dan cuaca, semangat gotong royong antara TNI dan warga menjadi bahan bakar utama kelancaran proyek ini.
Program TMMD 125 di Konawe menegaskan kembali bahwa membangun Indonesia dari pinggiran bukan sekadar slogan. Di tengah sunyi pedalaman, suara motor grader yang bekerja siang-malam justru menjadi pertanda: pembangunan memang sedang bergerak, sejengkal demi sejengkal. (*)