BARANEWS | Pertanian sering disebut sebagai “ibu kandung” masyarakat. Julukan itu bukan tanpa alasan. Pertanian menyediakan kebutuhan pokok yang paling dasar bagi manusia—pangan. Dari sawah dan ladang, manusia mendapatkan beras, sayuran, buah-buahan, dan berbagai sumber energi yang menopang kehidupan. Sejak zaman dahulu, pertanian bukan hanya urusan perut, tapi juga urusan hidup.
Kami sedang berada di Desa Sotok, sebuah desa yang terletak di Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Meski Sekayam bukanlah penghasil beras utama seperti Karawang, Cianjur, atau Solok, namun di sini kami merasakan sesuatu yang hangat, akrab, dan mengikat: suasana yang tak jauh berbeda dari pelukan seorang ibu kandung.
Hidup di desa ini membuat kami semakin memahami makna pertanian sebagai ibu kandung. Bukan hanya karena sawah atau ladang, tapi karena kehidupan masyarakatnya yang masih begitu dekat dengan tanah. Mereka menyentuh bumi saban hari, menggantungkan hidup dari apa yang tumbuh, dan bersyukur dari hasil yang dipanen.
Di Kalimantan Barat, khususnya di Sekayam, pertanian bukanlah sektor utama. Wilayah ini dikenal sebagai sentra perkebunan sawit, bukan lumbung padi. Namun menariknya, tidak ada istilah khusus seperti “pekebun” dalam identitas formal. Siapa pun yang bekerja mengolah tanah, baik di ladang, kebun, maupun sawah, tetap disebut petani dalam KTP mereka. Sebutan itu seolah melampaui batas komoditas, menjadi identitas sosial yang menyatu dengan akar kehidupan.
Pertanian tak hanya menyediakan pangan. Ia juga menjadi penggerak ekonomi, terutama di desa. Di tempat seperti Sotok, sektor ini menyerap tenaga kerja, membuka ruang penghidupan, dan menjadi sumbu bagi perputaran uang. Setiap hasil tani atau kebun yang dijual, menjadi rezeki bagi keluarga dan sumber pemasukan bagi daerah.
Lebih jauh lagi, pertanian yang dikelola dengan bijak ikut menjaga keseimbangan alam. Ia mencegah erosi, menjaga kesuburan tanah, dan melestarikan keanekaragaman hayati. Di tengah ancaman krisis iklim dan eksploitasi alam besar-besaran, pertanian yang berkelanjutan adalah benteng terakhir bagi ekosistem yang sehat.
Sebulan tinggal di Desa Sotok, kami merasakan langsung denyut kehidupan yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk ibu kota. Di sini, orang bangun lebih pagi, bekerja dengan tangan dan hati, pulang dengan rasa cukup. Tidak ada bising klakson atau desakan waktu. Hanya ada suara burung, tawa anak-anak, dan aroma tanah yang basah oleh hujan.
Kehidupan di desa seperti menemani ibu kandung dalam bekerja. Ia menenangkan, menumbuhkan, dan mengajarkan makna syukur. Di antara kebun-kebun sawit dan jalan-jalan tanah merah, kami belajar memahami satu hal penting: bahwa manusia sejatinya adalah anak dari bumi. Dan pertanian, dalam segala bentuknya, adalah pelukan ibu yang setia.