Sanggau — Dari rumah kayunya yang sederhana di Dusun Sadong, Desa Pengadang, Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, Aminah menganyam harapan bersama anyaman bambu yang telah menjadi bagian hidupnya selama puluhan tahun. Perempuan 64 tahun ini bukan hanya seorang ibu dari tujuh orang anak, tetapi juga sosok ulet yang hingga kini terus menekuni usaha kerajinan tangan berbahan dasar bambu. Takin, tangui, dan nyeruk adalah tiga jenis produk utama yang ia buat sendiri dengan tangan dan pengalaman panjang.
Saat ditemui pada Jumat pagi, (18/7), Aminah sedang menyelesaikan pesanan sebuah takin — tempat penyimpan hasil hutan dan pertanian seperti ikan dan buah-buahan. Di sampingnya, terlihat tumpukan tangui yang belum selesai — caping ala Jawa yang umum digunakan petani untuk melindungi kepala dari panas dan hujan. Ada juga nyeruk atau tampah, penampakan bulat lebar yang digunakan untuk menampi beras, menjemur rempah, dan kebutuhan rumah tangga lainnya.
Seluruh produknya dibuat dari bambu. Tidak ada bahan sintetis. Tak ada lem atau cat kimia. Semuanya dikerjakan secara tradisional, dari memilih batang bambu di hutan sekitar, mengolahnya, hingga menjadikannya barang yang memiliki nilai pakai dan jual. Untuk harga, Aminah menyebut berkisar mulai dari tiga puluh ribu hingga tujuh puluh ribu rupiah, tergantung ukuran dan tingkat kesulitan pengerjaan. “Tidak mahal, tapi cukup untuk makan. Kadang buat beli beras, kadang bisa bantu cucu sekolah,” ujarnya sambil tersenyum.
Di tengah hiruk-pikuk kampanye digitalisasi UMKM dan bangkitnya industri kreatif, kisah Aminah seolah berjalan pelan dan sunyi. Belum ada pelatihan usaha, belum ada pendampingan dari dinas. Bantuan alat sederhana pun nyaris tak pernah sampai. Dalam keterbatasannya, Aminah hanya mengandalkan ketekunan dan keterampilan yang diwariskan secara turun-temurun dari keluarganya.
Pemerintah pusat saat ini tengah gencar mendorong kebijakan pro-UMKM. Presiden terpilih Prabowo Subianto telah berulang kali menyatakan bahwa usaha mikro, kecil, dan menengah harus menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Program seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR), digitalisasi UMKM, dan pelatihan vokasional digaungkan di banyak tempat. Namun pada realitasnya, gaung itu belum menyentuh masyarakat seperti Aminah yang hidup di wilayah perbatasan, jauh dari akses pelatihan maupun fasilitas produksi.
Menurut pengamat sosial pedesaan, Suta Widhya, usaha seperti yang dijalankan Aminah seharusnya mendapatkan perhatian khusus. “Kekayaan alam yang berlimpah di pedesaan harus didukung oleh sumber daya manusia yang terampil dan berdaya. Pemerintah tidak bisa membiarkan warga seperti Aminah berjalan sendiri tanpa pembinaan,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa desa-desa seperti Pengadang memiliki potensi besar untuk dikembangkan melalui pendekatan UMKM berbasis sumber daya lokal. Pemerintah desa, menurutnya, dapat berperan aktif dengan menyurati dinas terkait untuk mengajukan program pelatihan dan bantuan. Kepala desa, kata Suta, tidak cukup hanya hadir dalam kegiatan seremonial. Ia perlu bergerak konkret, mendorong pemberdayaan warganya agar lebih produktif.
Dalam diam dan kerja kerasnya, Aminah sesungguhnya tengah mengajarkan satu hal penting: bahwa kemandirian ekonomi tidak selalu hadir dari skema besar dan rumit, tetapi bisa tumbuh dari ketekunan dan warisan tradisi. Hanya saja, tanpa dukungan struktural dari pemerintah, upaya seperti ini akan terus terseok dan sulit berkembang.
Sebagai negara yang menjanjikan pemerataan pembangunan dan penguatan ekonomi kerakyatan, Indonesia tidak boleh menutup mata terhadap cerita-cerita kecil seperti Aminah. Justru dari tangan-tangan tua yang terus bekerja itu, makna sejati pembangunan bisa ditemukan. Mereka tidak menuntut banyak, hanya meminta agar kerja kerasnya dilihat dan diberi peluang untuk berkembang.
Dalam rumah bambu yang berdiri di garis batas negeri, Aminah menanti. Bukan hanya pembeli, tapi juga perhatian negara. (*)