Ermalianti, M.Pd (Akademisi)
Dewan Pengurus Daerah Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (DPD IWAPI) Provinsi Kalimantan Selatan menggelar Rapat Kerja Daerah (Rakerda) III di Kota Banjarbaru, Selasa 22 Juli 2025. Acara ini dibuka secara resmi oleh Gubernur Kalimantan Selatan H. Muhidin, yang diwakili oleh Plt Asisten Pemerintahan dan Kesra Setdaprov Kalsel, Muhamad Muslim. Dalam sambutannya, Muhamad Muslim menegaskan peran strategis pengusaha wanita dalam pembangunan ekonomi daerah. (https://diskominfomc.kalselprov.go.id)
Tidak hanya Kalimantan Selatan di atas, hampir semua wilayah kini mendorong keterlibatan perempuan dalam kegiatan ekonomi, salah satunya sebagai pelaku UMKM. Dari pemerintah pusat hingga daerah sering menggulirkan program pelatihan wirausaha, pemberdayaan UMKM, dan bantuan modal untuk mendorong perempuan agar menjadi penggerak ekonomi bagi rumah tangga bahkan daerah. Namun, betulkah perempuan penggerak ekonomi ini sebuah keberuntungan keluarga bahkan daerah atau malah jebakan yang akhirnya berdampak bagi perempuan?
Di balik Perempuan Penggerak Ekonomi
Perempuan pada dasarnya di rumah sebagai isteri dan ibu. Sedangkan suami bekerja. Jika perempuan turut menjadi penggerak ekonomi berati memikul beban ganda, yaitu sebagai pencari nafkah dan pengurus rumah tangga yang menyebabkan kelelahan fisik dan psikis. Tidak bisa dipungkiri memang kehidupan saat ini memaksa perempuan ikut terlibat dalam sektor ekonomi. Apalagi perempuan sebenarnya juga punya kemampuan dan keahlian tentu ini peluang emas bagi peningkatan perekonomian.
Sebagaimana Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan bahwa perempuan punya keunggulan yaitu lebih sensitif, punya kepekaan, dan lebih memiliki empati. Menurutnya, hal tersebut tidak identik dengan kelemahan tetapi justru merupakan sumber kekuatan. (https://www.kemenkeu.go.id)
Konstribusi perempuan dalam pembangunan kerap dianggap tak sebanding dengan kaum laki-laki. Padahal dari sisi ekonomi, 60 persen dari sekitar 51,21 juta Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia dikelola atau dimiliki oleh perempuan. Selain menyerap sekitar 91,8 juta atau 93 persen dari total tenaga kerja, pekerja perempuan di sektor informal juga menyumbang 55 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). (https://kemenpppa.go.id)
Tambahan data lain berdasarkan data Kementerian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), jumlah pelaku UMKM di Indonesia hingga Mei 2025 mencapai 57 juta unit usaha, termasuk jenis usaha Ultra Mikro (UMi). Dari total tersebut, 64,5% atau sekitar 37 juta unit usaha dikelola oleh Perempuan. (https://industri.kontan.co.id)
Gagasan menjadikan perempuan sebagai motor penggerak ekonomi dalam paradigama saat ini ketika standar perbuatan adalah manfaat dan kapitalis maka hal tersebut dianggap solusi yang tepat bahkan menjadi pola pikir pemerintah dan perempuan saat ini. Padahal paradigma ini karena lemahnya sistem ekonomi yang tidak mampu menyejahterakan rakyat.
Negara gagal menciptakan sistem jaminan sosial yang adil sehingga perempuan didorong untuk ikut menopang ekonomi rumah tangga. Pandangan bahwa perempuan harus ikut produktif secara ekonomi muncul dari paradigma barat sekuler yang mengukur nilai perempuan dari kontribusinya secara material. Oleh karena itu di balik perempuan penggerak ekonomi bukan keberuntungan melainkan jebakan sistem kapitalisme sekuler dalam mengeksploitasi sumber daya manusia.
Perempuan dalam Islam
Berbeda dengan Islam memandang perempuan. Negara bertanggung jawab menjamin kebutuhan dasar rakyat yaitu sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan. Islam tidak melarang perempuan bekerja, tapi membatasi pada ruang yang tidak menyalahi fitrah dan syariat.
Islam tidak mengenal persaingan peran antara laki-laki dan perempuan, melainkan pembagian peran. Perempuan tidak harus menjadi pesaing laki-laki di ranah publik demi dianggap “berdaya”. Menjadikan perempuan sebagai motor penggerak ekonomi daerah adalah solusi semu dari sistem kapitalisme yang gagal menyejahterakan rakyat.
Dalam Islam, perempuan dimuliakan bukan karena produktivitas ekonominya, tetapi karena perannya yang sesuai fitrah. Konsep ekonomi dalam Islam tidak bisa dipisahkan dari sistem politiknya.
Demikianlah ketika penguasa hadir untuk mengurusi urusan rakyat, termasuk bertanggung jawab terhadap kesejahteraan. Maka sistem politik dan sistem keuangan yang diberlakukan juga harus berasal dari Islam. Semua ini hanya bisa terealisasi apabila negara menjadikan akidah Islam sebagai landasan pemikirannya dan syariat Islam sebagai asas kehidupan. Wallahu’ alam.