Oleh : Halimatus sa’diah S.Pd
Infrastruktur jalan adalah fasilitas yang sangat penting dalam menunjang aktivitas masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain itu infrastruktur jalan juga dapat meningkatkan konektivitas, mobilitas, dan akses ke berbagai fasilitas, terlebih jika menghubungkan dua wilayah sebagai akses antar kabupaten, misalnya.
Oleh karena itu, perencanaan, pembangunan, pengembangan, dan pemeliharaan jalan harus menjadi prioritas pemerintah dalam upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan pertumbuhan ekonomi suatu negara, sehingga pemerintah pun harus maksimal terkait infrastruktur jalan ini.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kertanegara yang akan terus meningkatkan pelayanan dasar, termasuk pembangunan infrastruktur jalan. Pembangunan infrastruktur jalan merupakan program prioritas yang telah masuk ke dalam target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kutai Kartanegara 2021-2026. (KutaiRaya,com 11/3/2025)
Terkait dengan infrastruktur jalan di Desa Loh Sumber, Kepala Bidang (Kabid) Bina Marga Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kutai Kartanegara Linda Juniarti mengatakan, khusus di desa Loh Sumber telah dilakukan pembangunan infrastruktur di 2024 lalu. Pembangunan itu ialah, infrastruktur jalan dengan panjang 3 KM, pembangunan turap dan lainnya.
Pada 2025 ini, pemerintah daerah melakukan perbaikan jalan poros yang menghubungkan Kecamatan Kota Bangun, Kenohan dan Tabang yang menjadi prioritas pembangunan. Perbaikan jalan poros itu dilakukan melalui sumber dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kutai Kartanegara 2025 sekitar 20 miliar dengan panjang 1,6 KM.
Pihaknya menegaskan, pemerintah daerah komitmen meningkatkan infrastruktur khususnya pembangunan jalan secara merata dan bergantian. Mengingat geografis Kutai Kartanegara sangat luas dan menyesuaikan keuangan daerah.
Ini adalah fakta bagaimana pengadaan jalan di daerah akan dibiayai oleh pemerintah daerah setempat masing-masing. Hal ini diperkuat dengan Undang-Undang No.38 Tahun 2004 tentang jalan nasional, yang menetapkan bahwa hanya jalan nasional yang menjadi kewenangan pemerintah pusat (negara), yaitu melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Sedangkan jalan provinsi, kabupaten, dan kota merupakan kewenangan pemerintah daerah.
Inilah yang kemudian sering kali terjadi, ada saling lempar tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah, terkait pembangunan jalan, pemeliharaan, serta perbaikannya. Siapa yang bertanggung jawab ketika terjadi kerusakan ataupun pengadaan jalan.
Fakta ini semakin menunjukkan lemahnya tata kelola sistem kapitalisme demokrasi dalam menjamin hak umum rakyat berupa ketersediaan jalan yang memadai untuk keberlangsungan hidup mereka. Sebuah system yang berasas pada sekulerisme, yang memisahkan urusan agama dan dunia.
Efek dari hal tersebut, selain akan mempersulit dan memperlambat mobilitas rakyat terkait distribusi barang dan jasa, efek turunannya akan berakibat pada mahalnya barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Tampak jelas bahwa sistem ini jauh dari visi memberikan kesejahtern dan kenyamanan yang sesungguhnya.
Perbaikan infrastruktur jalan kepada masyarakat tidak optimal terlaksana karena efisiensi anggaran, padahal infrastruktur jalan adalah hal yang sangat penting. Sungguh ini kebijakan yang mendzalimi rakyat karena di sisi lain bertolak belakang dengan anggaran lain yang tidak penting. Kalimantan Timur khususnya Kutai Kartanegara kaya akan SDAE tetapi rakyat tidak menikmatinya, jalan rusak pembiayaannya pun tidak optimal.
Penyebab banyaknya jalan rusak selain kurangnya anggaran juga karena konstruksi yang tidak sesuai spesifikasi teknis, pembangunan drainase yang tidak sempurna, dan dilewati kendaraan truk yang kelebihan muatan dan dimensi. Faktor alam seperti kondisi tanah yang tidak stabil dan terjadinya bencana alam juga dituding menjadi penyebab kerusakan jalan.
Namun, sejatinya faktor-faktor yang bersifat teknis tadi bisa diselesaikan jika negara betul-betul mengurus rakyatnya. Sayang, kepemimpinan yang tegak saat ini adalah kepemimpinan sekuler yang menempatkan diri sebagai regulator dan fasilitator. Negara tidak ubahnya pebisnis yang memenuhi hak rakyat menurut hitungan untung rugi.
Pemerintah akan membangun infrastruktur jalan jika ada keuntungan ekonomi dengan skema investasi. Jika ada investor (pemilik modal) yang berkepentingan untuk berinvestasi di suatu wilayah, negara akan membangun infrastruktur transportasi yang mulus. Ini tidak lepas dari simbiosis mutualisme antara penguasa dan pengusaha, yakni dalam setiap investasi oleh pemilik modal akan ada keuntungan pribadi bagi penguasa. Selain itu, juga sebagai politik balas budi atas dukungan materiel para pengusaha pada penguasa untuk memenangkan kontestasi pada masa pesta demokrasi.
Sudah banyak upaya rakyat untuk mendorong pemerintah agar memperbaiki infrastruktur transportasi. Pengajuan pembangunan jalan sudah diajukan, protes secara langsung maupun melalui medsos sudah dilakukan, tetapi pemerintah tetap bergeming, tidak kunjung melakukan pembangunan jalan. Ini menunjukkan bahwa pemerintah abai terhadap pemenuhan kebutuhan rakyat. Pemerintah tidak peduli meski rakyat harus berjibaku melewati jalan yang rusak hingga bertaruh nyawa. Ini sungguh berbeda dengan kondisi di bawah kepemimpinan Islam.
Dalam Islam, infrastruktur jalan adalah salah satu hak rakyat yang wajib dipenuhi negara dengan kualitas dan kuantitas yang memadai dan mempermudah kehidupan mereka. Negara Khilafah memosisikan dirinya sebagai raa’in (pengurus) rakyat dan wajib bagi Khilafah untuk membangun infrastruktur yang bagus dan merata ke pelosok negeri.
Menjadikan rakyat sejahtera hukumnya wajib bagi khalifah. Kesejahteraan tidak akan terwujud jika tidak terpenuhi sarana dan prasarananya, termasuk infrastruktur jalan untuk memperlancar distribusi dan pemenuhan kebutuhan rakyat. Oleh karenanya, keberadaan infrastruktur jalan yang bagus dan merata ke seluruh pelosok negeri menjadi wajib hukumnya. Kewajiban ini harus dilaksanakan oleh khalifah.
Negara memastikan tiap-tiap individu rakyat bisa menikmati jalan yang bagus, meski mereka tinggal di pelosok negeri atau daerah terpencil. Jalan yang bagus bukan hanya untuk wilayah perkotaan atau pusat bisnis dan industri, tetapi untuk seluruh rakyat. Negara tidak memperhitungkan untung rugi dalam pembangunan infrastruktur jalan, yang menjadi parameter pembangunan adalah kebutuhan rakyat. Ketika rakyat membutuhkannya, negara akan membangunnya.
Negara menerapkan syariat Islam kafah dalam seluruh aspek kehidupan sehingga bisa membangun jalan untuk rakyat.
Negara Islam tidak bergantung pada swasta dalam pembangunan infrastruktur jalan karena Negara Islam memiliki banyak sumber pemasukan. Syekh Abdul Qadim Zallum menjelaskan dalam Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah bahwa baitulmal (APBN) Negara Islam memiliki banyak pos pendapatan. Di antaranya adalah bagian fai dan kharaj (mencakup ganimah, fai, khumus, kharaj, jizyah, fai, dan dharibah) dan bagian kepemilikan umum (mencakup tambang migas maupun nonmigas, laut, sungai, hutan, padang rumput, dan aset-aset yang diproteksi negara untuk keperluan khusus). Pos-pos pemasukan tersebut akan cukup untuk membangun infrastruktur jalan yang bagus dan merata untuk rakyat.
Pemimpin dalam Islam benar-benar mewujudkan infrastruktur jalan yang bagus dan merata.
Seperti Khalifah Umar bin Khattab ra. menyediakan pos dana khusus dari baitulmal untuk mendanai infrastruktur jalan dan semua hal yang terkait dengan sarana dan prasarana jalan. Hal ini untuk memudahkan transportasi antara berbagai kawasan Khilafah. Khalifah Umar ra. juga menyediakan sejumlah besar unta sebagai alat transportasi bagi rakyat yang hendak menuju Syam dan Irak, tetapi tidak memiliki kendaraan.
Adapun pada masa khulafa berikutnya, pembangunan infrastruktur jalan di wilayah Khilafah sudah sangat modern. Dr. Kasem Ajram dalam buku The Miracle of Islam Science, 2nd Edition menyebutkan bahwa pembangunan infrastruktur begitu pesat pada zaman Khilafah Islamiah. Jalan-jalan di Bagdad, Irak sudah dilapisi aspal pada abad ke-8 M, sedangkan menurut catatan sejarah transportasi dunia, negara-negara di Eropa baru mulai membangun jalan pada abad ke-18 M. Peradaban Barat baru pertama kali mengenal jalan aspal pada 1824 M.
Mansour Elbabour dalam buku System of Cities: an Alternative Approach to Medieval Islamic Urbanism, menjelaskan bahwa pada abad ke-9, Bagdad sebagai ibu kota Khilafah Abbasiyah menjadi sentral. Negara membuka beberapa jalur dari dan menuju Bagdad hingga tercipta integrasi dengan kota-kota provinsi utama sampai wilayah perbatasan.
Pada abad ke-10, ibu kota provinsi juga menjadi sentral pembangunan sehingga dibangunlah jalan dengan pola yang sama, yaitu ibu kota provinsi menjadi sentral dan ada jalur dari dan ke ibu kota provinsi yang menghubungkannya dengan wilayah yang ada di bawah administrasinya hingga ke perbatasan dengan provinsi lain.
Khilafah juga mempermudah umat Islam untuk ibadah haji. Negara membangun jalur dari Bagdad menuju Makkah dan Madinah. Tidak hanya menyediakan jalan, Khilafah juga melengkapi jalan tersebut dengan fasilitas bagi pengguna jalan, yaitu sumur, penampungan air, tempat penginapan, dan masjid.
Inilah gambaran bagaimana Islam dengan pengaturan yang sempurna yang menjadikan pemimpin nya bekerja keras agar rakyat mudah melakukan perjalanan untuk berbagai urusan mereka sebagai bentuk pelayanan pemimpin pada rakyatnya.
Wallahu a’lam bisshowwab