Oleh Saridah(aktivitas muslimah)
BALIKPAPAN – Hujan deras yang mengguyur Kota Balikpapan sejak Jumat (7/3/2025) dini hari menyebabkan banjir di sejumlah wilayah, tanah longsor, serta pohon tumbang.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Balikpapan mencatat sedikitnya 9 titik banjir di berbagai titik pemukiman dengan ketinggian air mencapai 140 cm
Selain banjir, BPBD juga mencatat pergerakan tanah terjadi di Jalan Penggalang RT 28 Gang 5, Kelurahan Damai, Kecamatan Balikpapan Kota.
Petugas dari BPBD, Dishub, Satpol PP, TNI, Polri, dan unsur relawan dikerahkan untuk menangani dampak bencana.
Bukan Sekadar Genangan
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mendefinisikan bahwa banjir adalah peristiwa berlimpahnya air hingga meluap ke daratan—yang biasanya kering—akibat curah hujan yang tinggi, salju yang meleleh, atau masalah lain yang mengakibatkan air tidak dapat diserap cepat oleh tanah atau dialirkan oleh saluran air yang ada. Banjir bisa terjadi secara tiba-tiba maupun bertahap.
Ada beberapa jenis banjir. Pertama, banjir luapan sungai, terjadi ketika debit sungai meluap melewati batas normalnya. Kedua, banjir luapan laut (rob), disebabkan naiknya permukaan laut, sering kali akibat badai, gelombang pasang, atau kerusakan ekosistem pesisir. Ketiga, banjir genangan, terjadi ketika air menggenangi daratan rendah akibat hujan lebat. Keempat, banjir bandang, banjir yang sangat kuat dan mendadak, sering kali disertai longsor yang merusak segalanya di jalur alirnya.[ii]
Dari paparan BPBD tersebut, jelas bahwa yang terjadi di perkotaan adalah banjir genangan, bukan sekadar genangan air. Sungguh terlalu menyederhanakan masalah dan menyelisihi fakta yang ada jika menyebutnya sebagai genangan air. Kalau genangan air, tinggi air maksimalnya hanya semata kaki. Di kota-kota besar, yang mereka sebut “genangan” nyatanya batas air merendam lutut, kadang setinggi perut, bahkan sampai leher. Parahnya, kondisi yang demikian selalu berulang setiap tahunnya.
Kegagalan Tata Kelola Ruang
Banjir berulang di perkotaan menunjukkan gagalnya tata kelola ruang yang dilakukan oleh pemangku kebijakan. Seharusnya, dalam pengelolaan lahan, memilah area lahan yang diperuntukkan untuk daerah industri; lalu untuk pusat perbelanjaan, perkantoran, perumahan; termasuk mana area yang diperuntukkan sebagai daerah resapan (recharge area) sehingga tercipta keseimbangan ekologis.
Namun, dengan adanya sistem desentralisasi, kebijakan pengelolaan tata ruang ini diserahkan kepada kepala daerah yang dituangkan dalam peraturan daerah (perda). Semisal di Surabaya, tertuang dalam Perda Kota Surabaya 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surabaya 2013—2034.
Dalam Pasal 14 poin 4A, Pemda Surabaya menetapkan ruang hijau—yang berguna menjadi daerah resapan—sebesar 20% dari luas wilayah Kota Surabaya yang persebarannya disesuaikan dengan kebutuhan ruang terbuka hijau kota. Meski sekarang ruang terbuka hijau Surabaya 22%, tetapi persentase yang ditetapkan tersebut masih kecil dibanding ketentuan UU 26/2007 tentang Penataan Ruang yang menyebutkan proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30% luas wilayah kota.
Jika UU 26/2007 tersebut ditegakkan, kemungkinan besar bencana banjir di perkotaan akan berkurang. Namun, UU tersebut seolah tidak bergigi lagi pada saat pemerintah mengesahkan UU Ciptaker. Dalam UU Ciptaker, keharusan adanya kawasan hutan 30% tersebut dihilangkan, padahal ambang batas angka minimal 30% tersebut adalah kondisi yang diharapkan mendukung faktor kelestarian lingkungan yang nantinya akan membantu pelestarian kawasan serta menjadi daerah resapan.
Pro Oligarki
Adanya UU Ciptaker dengan pendekatan Omnibus Law, terdapat 37 pasal yang diubah, dihapus, dan ditambah untuk UU 26/2007. Tampak dalam UU Ciptaker tersebut, pemerintah pusat lebih mengedepankan kepentingan investasi. Banyak pasal dalam UU Ciptaker yang menunjukkan ketidakharmonisan dengan UU Penataan Ruang, UU Pokok Agraria, UU Kehutanan, dan UU sektor lainnya.
Dengan mengedepankan kepentingan investasi, jelas-jelas pemerintah lebih berpihak pada para pengusaha (oligark) dalam pengelolaan lahan. UU Ciptaker makin mempermudah pengusaha dalam menguasai dan mengelola lahan. Hal ini tampak dalam Pasal 15 ayat (1), (2), dan (3).
Disebutkan, “Dalam pemanfaatan ruang, pemerintah daerah wajib menyediakan RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) dalam bentuk digital yang mudah diakses berisi informasi kesesuaian rencana lokasi kegiatan atau usahanya dengan RDTR. Lalu, pemerintah pusat mengintegrasikan RDTR dalam bentuk digital tersebut dalam sistem Perizinan Berusaha secara elektronik.”
Lalu dalam Pasal 15 ayat (4) dan (5), “Jika dalam RDTR sesuai dengan kegiatan pemanfaatan ruang, pengusaha mengajukan permohonan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang untuk kegiatan usahanya. Lalu menunggu konfirmasi. Ketika mendapat konfirmasi dari Sistem Perizinan Berusaha, dapat langsung melakukan kegiatan usahanya.”
Dengan sistem digitalisasi yang terintegrasi, pengusaha sukses tidak perlu “ribet” lagi mengurus izin usaha. Bahkan, ia tahu betul peta ruang wilayah yang bisa menjadi pundi-pundi uang. Kalaupun ada wilayah daerah yang ia ingin bidik, sedangkan pemerintah daerah lambat merespons, maka pemerintah pusat bisa melakukan “shortcut” memberikan izin pada pengusah.
Dalam Pasal 16 ayat (1) dan (2) disebutkan, “Jika RDTR belum disusun oleh pemerintah daerah, pengusaha ajukan ke pemerintah pusat melalui perizinan berusaha secara elektronik. Pemerintah pusat langsung memberikan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang.”
Kebijakan pro pengusaha/oligarki adalah fenomena yang “lumrah” dalam sistem demokrasi. Demokrasi yang berbiaya mahal dalam meraih kekuasaan, meniscayakan berkelindannya kepentingan antara penyokong dana (oligark) dan calon penguasa. Konsep “tidak ada makan siang gratis”, melahirkan kebijakan sesuai pesanan dan kepentingan para oligark.
Bagaimana dengan rakyat? Rakyat hanyalah objek penderita. Saat pemilu, mereka sangat penting, suara mereka sangat dibutuhkan. Lepas pemilu, suara mereka tidak penting lagi. Mau berteriak atau hingga mengancam mogok makan sekalipun, kepentingan mereka akan teredam.
Buah Pahit Pembangunan Kapitalistik
Walhasil, keserakahan para oligark yang dipayungi hukum menjadikan menjamurnya perumahan elite, mal-mal dan pusat pertokoan, serta puluhan apartemen yang menjulang langit di kota-kota besar. Rakyat hanya menyaksikan dan merasakan banjir akibat lahan resapan akhir yang berkurang.
Jika banjir datang, mungkin para pengusaha bisa berpindah tempat karena banyaknya properti dan usaha yang mereka punya. Mereka masih bisa makan dan hidup nyaman. Namun, bagi rakyat jelata, mereka terpaksa terjebak di ruang tinggalnya. Kehidupan bagi mereka pun seolah berhenti, baik di sektor pendidikan, kesehatan, keamanan, begitu pun kerusakan lingkungan. Semuanya menjadi deretan derita yang harus mereka rasakan.
Banjir dan kerusakan lingkungan lainnya merupakan ulah tangan manusia. Sistem kapitalisme terbukti melahirkan manusia serakah dan niradab dalam mengelola lahan, mengantarkan berbagai penderitaan dan kerusakan.
Allah Taala berfirman dalam QS Ar-Ruum: 41, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Ruang Hidup Nyaman dan Aman Hanya dengan Islam
Berbeda dengan Islam. Islam memandang bahwa segala sesuatu yang ada di langit dan bumi—termasuk tanah—hakikatnya adalah milik Allah Taala semata. Firman Allah Taala, “Dan kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allahlah kembali (semua makhluk).” (QS An-Nuur [24]: 42).
Juga firman-Nya, “Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Al-Hadid [57]: 2).
Kemudian, Allah Taala sebagai pemilik hakiki, memberikan kuasa (istikhlaf) kepada manusia untuk mengelola milik-Nya sesuai dengan hukum-hukum-Nya.
Firman-Nya, “Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.” (QS Al-Hadid [57]: 7). Dalam menafsirkan ayat ini, Imam Al-Qurthubi berkata, “Ayat ini adalah dalil bahwa asal-usul kepemilikan (ashlul milki) adalah milik Allah Taala dan bahwa manusia tidak mempunyai hak, kecuali memanfaatkan (tasharruf) dengan cara yang diridai oleh Allah Taala.” (Tafsir Al-Qurthubi, Juz I hlm. 130).
Dengan demikian, Islam telah menjelaskan secara gamblang soal filosofi kepemilikan tanah. Intinya ada dua poin, yaitu pertama, pemilik hakiki dari tanah adalah Allah Taala, Kedua, Allah Taala sebagai pemilik hakiki telah memberikan kuasa kepada manusia untuk mengelola tanah menurut hukum-hukum-Nya.
Setiap individu umat berhak mendapatkan tanah (lahan), bukan hanya bagi yang bermodal saja. Islam yang mengatur kepemilikan ini. Menurut Abdurrahman al-Maliki, tanah dapat dimiliki dengan enam cara menurut hukum Islam, yaitu melalui jual beli, waris, hibah, ihya’ul mawat (menghidupkan tanah mati), tahjir (membuat batas pada tanah mati), dan iqtha’ (pemberian negara kepada rakyat). (As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mustla, Hlm. 51).
Khatimah
Sungguh, jika Islam diterapkan, tidak akan ada penguasaan lahan atas segelintir orang. Tidak akan ada pembangunan liar dan brutal yang mengabaikan manusia di dalamnya. Hanya sistem Islamlah yang memanusiakan manusia.
Islam juga memberikan ruang nyaman dan aman dalam berusaha bagi tumbuh kembang generasi, yakni ruang yang menjamin kesehatan dan lingkungan sehat—bahkan dalam berinvestasi—tanpa mengabaikan berbagai kebutuhan manusia.
Kebutuhan terhadap penerapan syariat kafah ini sudah merupakan hal urgen. Oleh karenanya, masih maukah bertahan dengan sistem kapitalisme yang jelas rusak dan merusak ini?
“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al-Maidah: 50).