Oleh : Asma Sulistiawati (Pegiat Literasi)
Maluku Utara, yang sering dijuluki sebagai “kota rempah”, dikenal sebagai salah satu daerah penghasil rempah terbaik di dunia. Namun, reputasi positif tersebut kini ternodai oleh hasil survei yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Berdasarkan hasil penilaian integritas tahun 2024 yang dirilis KPK, Maluku Utara dinyatakan sebagai provinsi paling korup di Indonesia. Hasil survei tersebut diumumkan pada hari Rabu, 22 Januari 2025.
Dari hasil survei tersebut, Maluku Utara mencatatkan skor terendah dalam kategori provinsi, dengan nilai 57,4 poin, meningkat 0,56 poin dibandingkan tahun 2023. Sementara itu, rata-rata skor nasional adalah 71,53 poin. “Ini menjadi perhatian serius bagi Maluku Utara, karena dengan skor 57,4, tingkat kerentanannya cukup tinggi,” ungkap Pahala Nainggolan, Wakil KPK Bidang Pencegahan dan Pengawasan. (Beritasatu, 25/01/2025)
Kasus Korupsi Masih Menjadi Polemik
Setelah pengumuman hasil skor yang diberikan oleh KPK, terlihat bahwa korupsi masih sangat merajalela di sekitar kita. Faktanya, tidak ada daerah di Indonesia yang sepenuhnya terhindar dari kasus ini. Meskipun skor tertinggi diraih oleh Jawa Timur dengan 79,5%, hal itu tidak berarti bahwa integritas di daerah lain terbebas dari praktik korupsi.
Korupsi adalah kejahatan serius yang perlu menjadi perhatian kita semua. Munculnya pola hidup sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari menjadi salah satu penyebabnya. Hal ini membuat para pejabat dan penguasa tidak ragu untuk menggunakan posisi mereka untuk memperkaya diri sendiri.
Selain itu, politik demokratis juga mendorong individu yang ingin menduduki posisi kekuasaan untuk mengeluarkan modal yang cukup besar selama kampanye. Namun, saat menjabat, gaji yang diterima tidak sebanding dengan modal yang dikeluarkan. Akibatnya, jalan pintas untuk mengembalikan modal saat pemilihan adalah melalui praktik korupsi.
Beberapa indikator yang menjadikan Maluku Utara sebagai provinsi paling korup antara lain praktik jual beli jabatan, pengadaan barang dan jasa, intervensi, dan gratifikasi. Meningkatnya jumlah kasus korupsi juga disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum di negara ini, yang tidak tegas dalam memberikan sanksi kepada para koruptor. Misalnya, dalam beberapa kasus korupsi besar, pelaku hanya dijatuhi sanksi ringan, seperti beberapa tahun penjara dan denda kecil.
Bahkan, ada koruptor yang saat dipenjara tetap memperoleh fasilitas mewah. Meskipun mereka merugikan negara dan menggerogoti uang rakyat dengan jumlah yang sangat fantastis, sanksi penjara yang dikenakan tidak memiliki efek jera bagi mereka atau masyarakat. Akibatnya, dari tahun ke tahun, kasus korupsi semakin meluas.
Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nyatanya belum efektif dalam menanggulangi korupsi di negara ini. Meskipun lembaga ini berhasil mengungkap berbagai skandal korupsi besar, masih banyak kasus yang terhenti di tengah jalan atau sudah dihentikan. Selain itu, tidak sedikit kasus korupsi yang belum terungkap dan belum mendapatkan sentuhan hukum. Hal ini dengan jelas menunjukkan bahwa Indonesia masih menghadapi masalah korupsi yang serius.
Dengan demikian, selama sistem kapitalisme demokrasi liberal ini diterapkan, akan sulit tercipta lingkungan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi. Keinginan untuk mewujudkan Pemerintahan yang Baik dan Bersih akan tetap menjadi sebuah angan-angan, selagi ambisi para pejabat dan pembuat kebijakan menggunakan kekuasaannya sebagai ladang untuk mencari kekayaan dan kekuasaan.
Islam Mampu Menuntaskan Kasus Korupsi
Sistem ini berbeda dengan sistem Islam yang secara tegas melarang praktik korupsi. Korupsi dianggap sebagai pelanggaran serius yang dapat menimbulkan kerugian besar bagi negara dan masyarakat. Oleh karena itu, terdapat beberapa langkah yang bisa diambil oleh suatu negara untuk mencegah korupsi.
Pertama, negara menetapkan syarat utama bagi pengangkatan pejabat atau pegawai pemerintah, yaitu memiliki iman yang kuat dan ketaqwaan. Hal ini dikarenakan jabatan adalah amanah yang harus dilaksanakan dengan baik dan akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Dengan landasan iman yang kokoh, lingkungan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi dapat tercipta.
Kedua, negara perlu menyediakan upah yang layak bagi pegawai pemerintah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dengan demikian, potensi terjadinya korupsi dapat diminimalkan, dan para pegawai akan lebih terdorong untuk melaksanakan tugas mereka dalam melayani dan mengurus kepentingan masyarakat.
Ketiga, penting bagi negara untuk menerapkan sanksi tegas bagi para pelaku korupsi. Sanksi yang dikenakan harus mampu memberikan efek jera, sehingga pelaku tidak mengulangi perbuatan mereka, sekaligus mencegah orang lain dari melakukan hal yang sama.
Keempat, dibentuklah badan pengawas atau audit keuangan yang bertugas untuk mencatat dan menghitung jumlah kekayaan pejabat sebelum dan sesudah menjabat. Tindakan ini sudah diterapkan pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, ketika ia menunjuk Muhammad bin Maslamah sebagai pengawas keuangan untuk mengawasi kekayaan pejabat pemerintah dengan menghitung jumlah kekayaan mereka dari awal hingga akhir masa jabatan.
Apabila terdapat kejanggalan dalam peningkatan kekayaan mereka, maka akan ditelusuri dari mana kekayaan tersebut berasal, apakah sesuai dengan hukum Islam atau tidak. Jika tidak sesuai, maka kekayaan tersebut akan disita dan dimasukkan ke kas negara.
Kelima, masyarakat juga harus berperan serta menjadi pengawas dan penjaga dalam sistem pemerintahan. Jika ada individu yang dicurigai melakukan korupsi, masyarakat harus segera melaporkannya kepada pihak berwenang.
Kelima kebijakan ini dapat diterapkan dalam suatu negara yang berlandaskan sistem Islam yang menjalankan ajaran Islam secara menyeluruh dalam mengatur urusan rakyatnya. Dengan demikian, korupsi tentu saja bisa diberantas hingga ke akarnya.
Wallahu’alam