Oleh: Rahmi Surainah, M.Pd alumni Pascasarjana Unlam Banjarmasin
Insiden tongkang bermuatan kayu yang menabrak Jembatan Mahakam pada 16 Februari 2025 menjadi perhatian di Kalimantan Timur, terutama terkait kondisi terkini jembatan tersebut. Tabrakan ini menyebabkan fender atau pelindung pilar jembatan hancur, dan beberapa bagian struktur jembatan mengalami kerusakan.
Peristiwa naas ini terjadi sekitar pukul 15.50 WITA, ketika tongkang Indosukses 28, yang ditarik oleh tugboat MTS 28, kehilangan kendali akibat arus deras di Sungai Mahakam dan menabrak Pilar 3. Polresta Samarinda telah mengambil tindakan dengan memeriksa sembilan saksi terkait insiden ini, termasuk nahkoda kapal, kapten, kru, pandu, agen kapal, dan perwakilan Dinas PUPR. (Kompas.co, 22/2/2025)
Dalam rapat dengar pendapat (RDP) di Hotel Fourpoints, Kota Balikpapan, Senin (24/2/2025), pihak DPRD Kaltim memanggil dan mengundang semua pihak terkait. Ketua DPRD Kaltim, Ketua Komisi II DPRD Kaltim dan anggotanya, BBPJN Kaltim, KSOP Kelas I A Samarinda, Pelindo, Polresta Samarinda, hingga pemilik kapal nampak hadir dalam rapat.
Kesepakatan rapat akhirnya diputuskan, jembatan yang sudah berumur 33 tahun ini tersebut ditutup sementara sampai hasil investigasi selesai. Sebagai dampak dari penutupan ini, arus lalu lintas akan dialihkan sepenuhnya ke Jembatan Mahakam IV yang saat ini membentang di samping Jembatan Mahakam lama. (Tribunkaltim.co, 25/2/2025)
Eksploitasi ala kapitalisme Membawa Mudharat
Jembatan Mahakam ditabrak tongkang pengangkut batu bara dan kayu sudah beberapa kali terjadi. Hal ini menggambarkan betapa arus lalu lintas air sungai Mahakam sering dilalui akan eksploitasi SDAE. Tentunya hal ini tidak cukup dengan solusi teknis seperti perbaikan jembatan. Tetapi solusi sistemis menyentuh akar persoalan yakni menghentikan eksploitasi yang dilegalkan oleh sistem saat ini.
Sistem kapitalisme telah menyerahkan seluruh kekayaan SDAE pada swasta. Sistem Kapitalisme telah membebaskan kepemilikan SDAE sehingga berbuah mudharat. Hasil SDAE melimpah namun sayang hanya sekedar lewat di arus sungai, jembatan pun terancam. Regulasi sistem membolehkan maka persolan ini akan terus terulang.
Ganti rugi perbaikan jembatan sebagai pertanggungjawaban tidaklah salah. Hanya saja mengingat jembatan sebagai fasilitas umum maka negara atau penguasalah yang seharusnya bersegera untuk memperbaikinya. Negara harus segera menghentikan arus eksploitasi SDAE.
Sayangnya, penerapan ekonomi Kapitalisme telah melumpuhkan peran negara sebagai pelayan rakyat termasuk dalam pemenuhan infrastruktur yang vital seperti jembatan. Negara bertanggung jawab dengan cepat agar jembatan bisa digunakan sebagaimana mestinya.
Infrastruktur dalam Islam Maslahat Bagi Umat
Infrastruktur dalam Islam merupakan prasarana yang dibuat demi kemaslahatan umat. Secara umum, infrastruktur merupakan fasilitas umum yang dibutuhkan oleh semua orang, sehingga termasuk dalam kategori marâfiq al-jamâ’ah, seperti air bersih, listrik, dan sejenisnya. Begitu juga termasuk fasilitas umum yang tidak mungkin dimonopoli oleh individu, seperti jalan raya, laut, udara, dan sejenisnya. Semuanya ini merupakan bagian dari infrastruktur yang dibutuhkan oleh seluruh manusia dan wajib disediakan oleh negara. Karena ini merupakan fasilitas umum, maka penggunannya pun gratis, tanpa dipungut biaya.
Sistem ekonomi Islam menjadikan Baitulmal yang dikelola negara sebagai jantung peredaran perekonomian. Adapun pembangunan dalam sistem Khilafah tidak terlepas dari sistem ekonomi berbasis Islam. Negara Khilafah tidak akan membiayai pembangunan dengan utang, investasi, hingga membebani BUMN. Sebagai gantinya, Khilafah akan memberlakukan sistem ekonomi Islam yang menyeluruh dan murni. Hal ini terkait erat dengan kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, serta distribusi dan jasa di tengah-tengah masyarakat.
Tidak hanya itu, negara juga akan memastikan berjalannya politik ekonomi dengan benar. Dengan penerapan sistem ekonomi Islam, Khilafah akan memiliki sumber kekayaan yang cukup untuk membiayai infrastruktur.
Kebijakan Khilafah dalam pembangunan infrastruktur ada beberapa tahapan. Pertama, Khilafah bisa membangun infrastruktur dengan dana baitulmal tanpa memungut sepeser pun dana masyarakat. Dengan kekayaan milik umum yang dikuasai dan dikelola oleh negara, ditambah kekayaan milik negara, maka tidak ada yang tidak mungkin.
Kedua, jika baitulmal tidak ada dana, maka harus dilihat jika proyek infrastruktur tersebut memang vital karena merupakan satu-satunya fasilitas umum yang dibutuhkan, atau karena satu dan lain hal sehingga harus ada. Dalam kondisi seperti ini, negara bisa mendorong partisipasi publik untuk berinfak. Jika tidak cukup, maka kaum Muslim, laki-laki dan mampu dikenakan pajak khusus untuk membiayai proyek ini hingga terpenuhi.
Pada saat yang sama, negara bisa mengajukan fasilitas kredit, baik kepada negara maupun perusahaan asing, tanpa bunga dan syarat yang bisa menjerat negara. Negara akan membayarnya dengan cash keras, setelah dana infak dan pajak tersebut terkumpul. Namun, kebijakan ini ditempuh dalam kondisi yang sangat terdesak. Meski, kemungkinan ini sangat kecil, mengingat sumber kekayaan negara khilafah yang membentang di 2/3 dunia saat sangat fantastis dan luar biasa.
Adapun jika proyek infrastruktur tersebut tidak vital, maka negara tidak perlu menarik pajak dari masyarakat. Negara juga tidak boleh mengambil fasilitas kredit, termasuk berutang kepada negara atau perusahaan asing untuk membiayai proyek ini. Negara tidak akan mengambil utang luar negeri untuk membiayai proyek infrastrukturnya.
Demikianlah tahapan biaya dan pembangunan infrastruktur dalam Islam. Perencanaan, pembuatan dan pembiayaan infrastruktur dalam Islam yang betul-betul memperhatikan umat. Khususnya jembatan maka negara juga akan segera memenuhi kebutuhan masyarakat karena itulah tuntutan syariat.
Wallahu’alam…