Oleh:saridah(aktivis muslimah)
SAMARINDA – Wacana pemberian izin usaha pertambangan kepada perguruan tinggi mendapat penolakan dari mahasiswa di Kalimantan Timur. Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Kaltim Menggugat (Mahakam) mendesak DPRD Kaltim untuk menyatakan sikap terkait isu tersebut.
Kami di sini untuk menyampaikan penolakan terhadap pemberian izin usaha pertambangan kepada perguruan tinggi, karena dampaknya akan lebih besar,” ujar salah satu orator aksi, Andi Mauliana Muzakkir, Ketua Senat Hukum Universitas 17 Agustus Samarinda.
Dia menyoroti dampak lingkungan yang sudah terjadi akibat aktivitas pertambangan di Kaltim. Sejak 2011, tercatat sebanyak 41 anak tenggelam di lubang bekas galian tambang yang dibiarkan terbuka.
Lalu tiba-tiba kampus disuruh mengelola tambang, bagaimana Tridharma bisa dijalankan dengan baik?” ujarnya.
Pro dan Kontra
Meski masih dalam wacana dan usulan, polemik izin usaha pertambangan untuk perguruan tinggi makin meruncing antara pihak pro dan kontra. Pihak yang pro seperti Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) menjadi salah satu pihak pengusul wacana tersebut sejak pemerintahan Jokowi. Forum Rektor Indonesia juga mendukung wacana tersebut. Wakil Ketua Forum Rektor Indonesia Didin Muhafidin menilai langkah ini sangat positif, asalkan perguruan itu telah memiliki status badan hukum (BHP) dan unit usaha sendiri.
Menurut Didin, pelibatan perguruan tinggi dalam mengelola tambang akan meningkatkan pendapatan lembaga, terutama bagi perguruan tinggi swasta besar yang memiliki yayasan dengan unit usaha. Pendapatan tambahan ini diharapkan dapat mengurangi beban mahasiswa, misalnya dengan menekan kenaikan SPP atau biaya operasional lainnya.
Sementara itu, pihak yang kontra adalah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Mereka menolak keras wacana ini karena khawatir pemberian izin usaha tambang pada kampus akan memberangus pemikiran kritis perguruan tinggi. Selain itu, Walhi melalui Deputi Eksternal Eksekutif Nasional Walhi Mukri Friatna mendesak agar usulan tersebut dihapuskan dalam revisi UU Minerba. Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) juga menolak wacana ini. Koordinator Pusat BEM SI Herianto mengatakan fokus perguruan tinggi adalah mendidik dan mengajar, bukan terlibat dalam aktivitas bisnis seperti pengelolaan tambang.
Sependapat dengan ini, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengatakan usulan tersebut adalah bentuk ketakseriusan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan akademisi, baik dosen maupun mahasiswa. Juru kampanye JATAM Alfarhat Kasman menekankan pemberian izin tambang sama artinya dengan pemerintah membebankan tanggung jawab finansial kampus begitu saja. Menurutnya, ketakbecusan negara menjamin kesejahteraan para akademisi dan mahasiswa diselesaikan dengan cara culas, yakni membiarkan kampus menghidupi dirinya sendiri dengan menambang.
Senada dengan hal itu, Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Fathul Wahid juga mempertanyakan dasar pemikiran kampus yang mendukung wacana ini. Ia melihat dampak yang akan ditimbulkan jika kampus terlibat dalam pengelolaan tambang, yaitu integritas akademik dipertaruhkan, suara kritis kampus makin parau ketika terjadi ketakadilan atau penyalahgunaan wewenang, dan terlenanya kampus pada bisnis hingga melalaikannya dari visi misinya sebagai lembaga pendidikan.
Dampak yang Ditimbulkan
Kekhawatiran yang disampaikan pihak-pihak yang kontra sangat wajar mengingat perguruan tinggi bukanlah korporasi yang mengejar keuntungan dan berbisnis layaknya pengusaha. Kampus adalah wadah pembentukan sumber daya manusia yang kritis, idealis, cerdas, dan inovatif. Jika kampus tetap berambisi menginginkan izin untuk mengelola tambang, dampak yang ditimbulkan sangat besar, di antaranya:
Pertama, sudah jamak diketahui bahwa aktivitas pertambangan kerap menimbulkan konflik horizontal antara korporasi dengan masyarakat setempat. Jika kampus masuk dan menjalankan bisnis pengelolaan tambang, kredibilitasnya sebagai lembaga intelektual akan dipertaruhkan. Berbagai temuan akibat dampak buruk pertambangan bisa saja diabaikan pihak kampus lantaran menjadi subjek pengelola tambang. Di sinilah konflik kepentingan itu terjadi, yakni mengutamakan pengelolaan tambang atau menyuarakan keadilan bagi masyarakat dan lingkungan yang terdampak aktivitas tambang.
Kedua, menurunnya kepercayaan masyarakat pada perguruan tinggi. Apabila kampus bersikeras mewujudkan wacana izin usaha tambang untuk perguruan tinggi, saat itulah kampus sudah kehilangan identitasnya sebagai lembaga pendidikan, yakni disorientasi pendidikan dari mencetak intelektual cerdas dan kritis menjadi intelektual bermental bisnis dengan mengejar profit sebanyak-banyaknya. Masyarakat akan menganggap bahwa sekolah di perguruan tinggi tidak diperlukan jika ujungnya hanyalah mencari cuan dan tidak berpihak pada kemaslahatan rakyat.
Ketiga, menggerus daya kritis mahasiswa. Tanpa ada wacana ini saja, suara kritis mahasiswa timbul tenggelam. Artinya, tingkat kekritisan mahasiswa saat ini tengah dalam ujian dan tantangan. Ujian tersebut ialah hilangnya idealisme mahasiswa yang tereduksi oleh gaya hidup sekuler liberal. Tantangan yang dimaksud ialah aroma pembungkaman akan makin kencang jika mahasiswa bersuara lantang melawan kezaliman yang ditimbulkan atas aktivitas pertambangan yang merugikan masyarakat. Terlebih jika yang dikritisi adalah kampus tempat mahasiswa tersebut menuntut ilmu.
Kapitalisasi Pendidikan
Dampak yang telah disebutkan sejatinya bermula dari kebijakan pemerintah yang sudah salah jalan, yakni sejak perguruan tinggi ditetapkan sebagai Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH) yang memiliki otonomi lebih besar dalam pengelolaan keuangan dan akademik, serta memungkinkannya bergerak lebih fleksibel. Sampai dengan 2024, terdapat 24 PTN BH dan tiap tahun jumlahnya terus bertambah. Bagaimana ini terjadi? Kita berkaca kembali pada sejarah lahirnya PTN BH.
Pada 2000, sejumlah PTN di Indonesia berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Lalu pada 2009 bentuk BHMN berganti nama menjadi badan hukum pendidikan (BHP) pemerintah sesuai dengan UU 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. UU tersebut kemudian dibatalkan oleh MK pada 31 Maret 2010 yang membuat pemerintah mengeluarkan PP 66/2010 yang mengembalikan status perguruan tinggi BHMN menjadi perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah. Status tersebut tidak bertahan lama setelah terbitnya UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi. Saat itu seluruh perguruan tinggi eks BHMN, termasuk yang telah berubah menjadi perguruan tinggi yang diselenggarakan pemerintah, ditetapkan sebagai PTN BH.
Lahirnya status kampus sebagai PTN BH inilah yang membuat kampus makin kental dengan kapitalisasi pendidikan. Akibatnya, orientasi kampus tidak lagi menawarkan pendidikan dengan biaya murah kepada calon mahasiswanya. Yang terjadi, biaya kuliah makin tinggi, apalagi setelah ada ketentuan UKT mahasiswa.
Meski fasilitas kampus menjadi lebih baik, tingginya biaya pendidikan di perguruan tinggi justru membatasi mahasiswa yang ingin melanjutkan pendidikannya. Sudah banyak kasus mahasiswa berprestasi yang tidak bisa melanjutkan pendidikan lantaran terkendala biaya UKT yang tinggi. Kebijakan ini juga memungkinkan kesenjangan akses pendidikan antara kelompok mahasiswa dengan UKT tinggi dengan mahasiswa menengah ke bawah.
Status kampus sebagai PTN BH juga memiliki sejumlah konsekuensi. Salah satunya ialah kebebasan dalam mencari sumber pendapatan menjadikan kampus lebih fokus pada aktivitas komersial dan mengabaikan misi pendidikan publik. Program-program yang lebih “menguntungkan” secara finansial menjadi prioritas. Sedangkan program-program yang lebih berfokus pada pengabdian masyarakat atau ilmu dasar terpinggirkan. Kampus pun berada di persimpangan jalan, memilih kepentingan finansial atau mengutamakan tanggung jawab sosial sebagai institusi pendidikan.
Disfungsi Negara
Kebijakan pemerintah yang memberikan status PTN BH merupakan bentuk disfungsi negara. Negara yang seharusnya menjadi pihak pertama dan utama sebagai penyelenggara pendidikan justru melepaskan tanggung jawabnya dengan membiarkan kampus berjalan sendiri secara mandiri, baik dari aspek pembiayaan ataupun kebijakan yang dikeluarkan. Seharusnya, pendidikan adalah hak dasar publik yang dapat diakses seluruh lapisan masyarakat. Namun, pengelolaan sistem pendidikan berparadigma sekuler kapitalistik menafikan itu semua.
Kebijakan menyerahkan pengelolaan tambang kepada ormas atau kampus juga bentuk kelalaian negara sebagai raa’in, yakni pengurus dan pelayan rakyat. Pengelolaan tambang sebagai hajat publik tidak seharusnya diserahkan pada pihak lain dengan dalih memberi kesempatan masyarakat mengelola SDA. Tanggung jawab mengelola tambang dan mengembalikan hasil pengelolaannya kepada masyarakat adalah kewajiban negara. Lagi-lagi, kebijakan ini muncul karena penerapan sistem sekuler kapitalisme yang memberi kebebasan bagi siapa pun untuk menguasai harta milik rakyat, seperti tambang.
Selain itu, wacana menyerahkan izin usaha tambang kepada perguruan tinggi bisa menjatuhkan umat pada keharaman. Islam mengatur bahwa tambang merupakan hak milik umum yang tidak boleh diserahkan penguasaan dan pengelolaannya kepada siapa pun selain negara.
Dengan kata lain, penguasa dalam sistem sekuler kapitalisme telah melahirkan kebijakan kapitalistik yang mengubah wajah kampus dari berorientasi pendidikan menjadi kampus berorientasi bisnis.
Orientasi Pendidikan Islam
Dalam pandangan Islam, pendidikan bukanlah komoditas yang dimanfaatkan untuk sesuatu yang bersifat komersial dan menghasilkan materi sebagaimana konsep kapitalisme. Pendidikan adalah gerbong pertama menciptakan generasi unggul dan berkualitas. Pandangan inilah yang membuat Islam sangat serius dan memberi perhatian yang besar dalam aspek pendidikan.
Orientasi pendidikan dalam Islam tidak sama dengan kapitalisme yang berorientasi materi semata. Akan tetapi, orientasi pendidikan Islam terkait erat dengan paradigma Islam sebagai akidah dan sistem kehidupan. Pendidikan dalam Islam merupakan upaya terstruktur dan sistematis untuk menyukseskan misi penciptaan manusia sebagai hamba Allah dan khalifah Allah di muka bumi.
Dalam Islam, pendidikan tidak sekadar beriorientasi mengejar lulusan siap kerja dan mencari cuan. Namun, orientasi lulusannya haruslah berimbang antara dunia dan akhirat. Pada aspek dunia, mereka dibekali saintek, keterampilan, dan semua hal yang dibutuhkan agar berdaya guna di tengah masyarakat. Ilmunya digunakan untuk sebesar-besar kemaslahatan umat.
Pada aspek akhirat, ia akan tumbuh menjadi generasi yang memiliki kepribadian mulia. Hal ini dibuktikan dengan lahirnya ilmuwan-ilmuwan muslim yang tidak hanya pandai ilmu saintek, tetapi juga cakap dalam ilmu agama (Islam). Pendidikan Islam juga mendorong para lulusan bermental pemimpin peradaban. Sistem pendidikan Islam ditujukan membentuk generasi ber-syakhshiyah Islam, yakni memiliki pola pikir dan pola sikap yang sesuai dengan tuntunan Islam. Salah satu upaya mewujudkan semua itu ialah menjadikan perguruan tinggi sebagai wadah membentuk SDM ber-syakhshiyah Islam.
Dalam kitab Usus at-Ta’lim fi Daulah al-Khilafah hlm. 87, Syekh Abu Yasin rahimahullah menjelaskan, “Pendidikan tinggi adalah pendidikan yang sistematis setelah sekolah. Tujuan pendidikan tinggi adalah penanaman dan pendalaman kepribadian Islam secara intensif pada diri mahasiswa perguruan tinggi, bagi yang telah sempurna pembinaannya di jenjang pendidikan sekolah. Peningkatan kualitas kepribadian ini ditujukan agar para mahasiswa bisa menjadi pemimpin dalam memantau permasalahan-permasalahan krusial bagi umat, termasuk kemampuan mengatasinya, yaitu permasalahan yang diharuskan dalam Islam atas kaum muslim untuk mengatasinya dengan risiko hidup atau mati.”
Islam menetapkan layanan pendidikan harus diberikan secara gratis. Pembiayaan pendidikan mulai dari tingkat dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi ditanggung negara melalui baitulmal. Seluruh pemasukan negara Khilafah, baik yang dimasukkan di dalam pos fai dan kharaj maupun pos milkiyyah ‘amah, yaitu SDA, termasuk pertambangan, dapat diambil untuk membiayai sektor pendidikan.
Jika pembiayaan dari dua pos tersebut mencukupi, negara tidak akan menarik pungutan apa pun dari rakyat. Jika harta di baitulmal habis atau tidak cukup untuk menutupi pembiayaan pendidikan, kewajiban pembiayaan tersebut dibebankan kepada kaum muslim hingga terpenuhi. Ini karena hak mendapatkan layanan pendidikan tidak ditentukan berdasarkan ada tidaknya harta, tetapi kewajiban negara atas kemaslahatan yang harus dipenuhinya kepada rakyat (Disarikan dari kitab Nizham al-Iqtishadiy fil Islam hlm. 537-538yang ditulis oleh Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah)
Adapun terkait izin pengelolaan tambang, Syekh Abdul Qadim Zallum rahimahullah dalam kitab Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah hlm. 92—93 menerangkan bahwa barang tambang yang jumlahnya banyak dan (depositnya) tidak terbatas tergolong pemilikan umum bagi seluruh kaum muslim sehingga tidak boleh dimiliki oleh seseorang atau beberapa orang. Tidak boleh diberikan kepada seseorang ataupun beberapa orang tertentu. Demikian juga tidak boleh memberikan keistimewaan kepada seseorang atau lembaga tertentu untuk mengeksploitasinya. Jadi harus dibiarkan sebagai milik umum bagi seluruh kaum muslim dan mereka berserikat atas harta tersebut. Negaralah yang wajib menggalinya, memisahkannya dari benda-benda lain, meleburnya, menjualnya atas nama mereka (kaum muslim), dan menyimpan hasil penjualannya di baitulmal kaum muslim.
Dalil yang dijadikan dasar untuk barang tambang yang (depositnya) berjumlah banyak dan tidak terbatas sebagai bagian dari pemilikan umum adalah hadis yang diriwayatkan dari Abidh bin Hamal al-Mazaniy, “Sesungguhnya dia bermaksud meminta (tambang) garam kepada Rasulullah maka beliau memberikannya. Tatkala beliau memberikannya, berkata salah seorang laki-laki yang ada di dalam majelis, ‘Apakah Anda mengetahui apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya apa yang telah Anda berikan itu laksana (memberikan) air yang mengalir’. Akhirnya beliau bersabda, ‘(Kalau begitu) tarik kembali darinya.’” (HR Tirmidzi).
Demikianlah, Islam menetapkan aturan yang menyeluruh perihal paradigma pendidikan, pembiayaan pendidikan, hingga tata cara mengatur tambang sebagai harta milik umum. Penerapan sistem Islam kafah akan menghilangkan ketakadilan dan kesenjangan yang terjadi pada sistem kapitalisme hari ini.