Oleh: Ninis (Aktivis Muslimah Balikpapan)
Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN), Basuki Hadimuljono, memaparkan dua milestone penting dalam pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Milestone tersebut nantinya akan menjadi peta jalan yang strategis bagi pembangunan IKN.
Kedua milestone itu yakni: pertama, penyediaan infrastruktur utama, termasuk hunian, kantor, fasilitas pendukung seperti air, listrik, dan pertokoan, akan disiapkan untuk mendukung perpindahan Aparatur Sipil Negara (ASN) ke IKN pada tahun 2025.
Kedua, penyelesaian pembangunan infrastruktur untuk sektor legislatif dan yudikatif, mencakup kantor dan hunian bagi para pejabat ditargetkan selesai tahun 2028.
Peta jalan tersebut diharapkan menjadi tonggak utama dalam transformasi IKN sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi baru yang modern dan berkelanjutan. Basuki menambahkan bahwa untuk mempercepat pembangunan, fokus akan diarahkan pada perencanaan matang dan peningkatan investasi. (www.gerbangkaltim.com).
Lantas, apakah untuk meraih target milestone tersebut harus membuka keran investasi? Bagaimana pandangan Islam terkait hal ini.
Bahaya Investasi
Hingga kini pembangunan IKN masih terus berjalan meskipun terkendala biaya. Jika sebelumnya penguasa menyatakan anggaran tidak akan menyedot APBN, tapi kenyataannya sejak 2022 hingga 2024 mencapai Rp 76,5 triliun untuk proyek ini. (Antara News).
Padahal, progres IKN dari waktu ke waktu sering diundur juga dikarenakan perencanaan pembangunan yang kurang matang. Akibatnya, berbagai problem di sela-sela pembangunannya pun terjadi. Misalnya, ada ruas jalan terbelah beberapa waktu lalu dan banjir yang semakin meluas.
Demi menggaet investor, pemerintah menempuh berbagai cara. Bahkan, pemerintah memberikan iming-iming pada investor untuk sewa lahan di IKN mencapai 180 tahun. Terlepas dari segala “drama” untuk menarik investor, melihat perkembangan pembangunan dan risiko pendanaan yang mengancam APBN proyek ini akhirnya memang berjalan lambat.
Sejatinya dengan keberadaan investor akan membahayakan negara, pasalnya mereka akan mudah mendikte pemerintah untuk melayani kepentingan bisnisnya. Di sisi lain, negara yang telah terjerat investor mau tidak mau harus rela mengikuti kemauan para pemodal ini.
Artinya, negara telah kehilangan posisi tawar di hadapan pengusaha nasional maupun global, sedikit demi sedikit kewenangannya tergeser dalam mengatur ekonomi bangsa. Berada dalam dikte para kapitalis, negara akan dijalankan sesuai arahan korporasi. Konsekuensinya, berbagai kebijakan yang pemerintah rumuskan kian tidak berpihak pada rakyat, bahkan rakyat kerap dibebani dengan berbagai macam pajak.
Implikasi investasi nyatanya tidak hanya berdampak pada kehidupan rakyat. Lebih dari itu, kedaulatan rakyat terenggut di tangan para raksasa pemodal. Demikianlah bentuk kepemimpinan populis otoriter tak segan-segan mengorbankan rakyatnya demi membangun infrastruktur.
Strategi Pembiayaan dalam Islam
Penetapan dan pemindahan ibukota dalam Islam dilakukan dengan perencanaan yang matang dan dibiayai secara mandiri. Sebagimana dicontohkan di masa Rasulullah yang menetapkan ibukota di Madinah dengan pertimbangan strategis dan politis.
Pembangunan negara sejatinya membutuhkan kemandirian finansial. Kalaupun harus berutang, negara harus memastikan bahwa pinjaman tersebut bukanlah alat untuk mendikte negara. Sebab, Islam sendiri memiliki solusi yang khas dalam membiayai pembangunan infrastruktur.
Dikutip dalam kitab Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah, Al-‘Allamah Syekh Abdul Qadim Zallum menjelaskan bahwa ada tiga strategi yang bisa dilakukan oleh negara untuk membiayai proyek infrastruktur saat ini, yaitu (1) meminjam kepada negara asing, termasuk lembaga keuangan global; (2) memproteksi beberapa kategori kepemilikan umum, seperti minyak, gas, dan tambang; (3) serta mengambil pajak dari umat/rakyat.
Mengenai pinjaman dari negara asing atau lembaga keuangan global, menurut beliau strategi ini tidak dibenarkan oleh syariat karena terkait dengan riba dan ada syarat-syarat tertentu. Terlebih strategi ini merupakan jalan masuk penjajah untuk menguatkan hegemoni mereka.
Sedangkan mengenai memproteksi (penguasaan oleh negara) harta milik umum, yaitu memproteksi beberapa kategori kepemilikan umum, seperti minyak bumi , gas, dan barang tambang lainnya. Khalifah bisa menetapkan kilang minyak, gas, dan sumber tambang tertentu, seperti fosfat, emas, tembaga, dan sejenisnya. Pendapatannya khusus untuk membiayai berbagai hal yang dibutuhkan negara.
Diriwayatkan dari Abu Dawud dari ibnu Abbas dari Sa’bi bin Jatsamah, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda ” Tidak ada penguasaan (pemagaran) kecuali bagi Allah dan Rasul Nya.”
Adapun menarik pajak, yaitu mengambil pajak dari kaum muslim untuk membiayai pos-pos pengeluaran negara termasuk infrastruktur, strategi ini hanya boleh dilakukan ketika kas baitul mal kosong. Itu pun hanya digunakan untuk membiayai sarana dan prasarana vital dan diambil dari kaum muslim yang laki-laki dan mampu saja, selain itu tidak.
Demikian strategi negara dalam hal pembiayaan infrastruktur. ️Penguasa dalam Islam betul-betul peduli pada rakyatnya serta tidak akan mengorbankan rakyat demi pembangunan. Hal tersebut pernah dicontohkan oleh Rasulullah dan para Khalifah, negara kuat serta bebas dari intervensi negara lain karena pendanaan dilakukan secara mandiri. Wallahualam.