Hukum Pidana Tidak Mengenal Hak Imunitas

ISKANDAR ZULKARNAIN

Rabu, 22 Oktober 2025 - 11:45 WIB

5079 views
facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Dr. WP Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. G.Dipl.IfSc.

drwahjuprijodjatmiko.com

NGANJUK, PEWARTAPOS – Semua warga negara Indonesia diposisikan sama di hadapan hukum tanpa
membedakan suku, agama, ras, difabel maupun status sosial, termasuk profesinya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Inilah amanat Konstitusi Negara yakni Pasal 27 ayat (1), yang secara keilmuan hukum
dikenal asas equality before the law. Asas ini merupakan ciri fundamental dari negara
hukum (rechtstaat) sehingga tidak ada keistimewaan yang diberikan oleh hukum pada
subyek hukum (gelijkheid van ieder voor de wet).

Adanya anggapan bahwa adanya pasal-pasal impunitas pada undang- undang
merupakan hak imunitas adalah sesat nalar. Keberadaan pasal-pasal tersebut
merupakan kebijakan hukum pidana biasa.

Jika dan hanya jika tidak ada (1) perbuatan
melawan hukum dan (2) adanya niat/iktikad baik dalam menjalankan tupoksi-nya
maka pasal-pasal tersebut operatif. Sudah banyak nama-nama besar baik itu dari kalangan advokat mupun pejabat publik dan wakil rakyat yang kesandung persoalan
hukum pidana walaupun ada pasal-pasal impunitas yang menaungi profesinya.

Pengaturan mengenai hak imunitas dapat ditemukan dalam berbagai macam
produk perundang-undangan di Indonesia. Misalnya, dalam Undang-Undang (UU)
Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka
Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas
Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (UU COVID-19), yakni Pasal 27; UU Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 17 Tahun 2017 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) yakni Pasal 224 ; UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yakni Pasal 16 dan UU No 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman yakni Pasal 10.

Potensi terjadinya abuse in law misalnya merupakan fenomena umum yang
sering muncul pada para pemeroleh pasal-pasal impunitas. Bila tidak hati-hati dalam memaknai pasal-pasal tersebut maka sering sekali kecerobohan itu akan mengarah ke perilaku spes impunitatis continuum affectum tribuit delinquendi yang berarti imunitas yang dimiliki seseorang membawa kecenderungan kepada orang tersebut untuk melakukan kejahatan dan impunitatis semper ad deteriora invitat yang berarti imunitas mengundang pelaku untuk melakukan kejahatan yang lebih besar.

Berdasarkan kedua postulat itu, imunitas dalam hukum pidana pada dasarnya
tidak dikenal. Imunitas dalam hukum pidana hanya diberikan kepada orang tertentu
atas tindak pidana yang dilakukan di luar teritorial negaranya.

Seorang kepala negara
misalnya, memiliki imunitas di luar wilayah teritorial negaranya. Ini berdasarkan postulat
par in parem non hebet imperium bahwa sorang kepala negara tidak boleh dihukum dengan
menggunakan hukum negara lain.

Sayangnya postulat inipun sudah dikesampingkan oleh
Pasal 27 Statuta Roma. Beberapa kejahatan dalam Statuta ini sudah diadopsi oleh Pemerintah Indonesia dengan lahirnya UU No.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Hal ini menegaskan bahwa tanggung jawab individu dalam hukum pidana tak kenal relevansi jabatan
resmi.

Mengenai imunitas diplomatik yang dikuatkan berdasarkan Konvensi Vienna 1961 dan
merujuk pada postulat legatus regis vice fungitur a quo destinatur, et honorandus est sicutille cujus vicem gerit dimana seorang duta besar mewakili raja yang mengutus dan mewakilinya oleh karenanya ia harus dihormati oleh negara asing menjadi lemah kekuatannya karena Pasal 27 Statuta Roma tersebut.

Dalam profesi advokat misalnya, walaupun hak imunitas advokat dijamin dan
dilindungi dalam UU Advokat, namun hal tersebut tidak serta-merta membuat advokat menjadi profesi yang kebal terhadap hukum karena hak imunitas yang melekat tersebut digantungkan kepada apakah profesinya itu dilakukan berdasarkan iktikad baik atau tidak.

Adapun pengertian iktikad baik yang diberikan dalam Penjelasan Pasal 16 UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat mensyaratkan bahwa dalam membela kepentingan kliennya.

Advokat harus tetap berdasarkan pada aturan-aturan hukum yang berlaku (ius constitutum).
Perlu dicermati bahwa dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor
7/PUU-XVI/2018 yang menjadi kata kunci dari rumusan hak imunitas dalam ketentuan
tersebut bukan terletak pada “kepentingan pembelaan klien”, melainkan pada “iktikad baik”.

Dengan demikian, hak imunitas tersebut dengan sendirinya akan gugur tatkala unsur iktikad baik yang dimaksud tidak terpenuhi.

Berita Terkait

PW GPA Al Washliyah Apresiasi Kepala BNN RI & Jajajran atas Keberhasilan Operasi Penindakan Narkoba di Berbagai Provinsi
Publik menilai Kerja Kepala BGN Sudah Sangat Di Rasakan Masyarakat Manfaat
Jaksa Ungkap Aliran Dana Rp 13 M dari Harvey Moeis ke Rekening Sandra Dewi
Publik Percaya Kinerja BGN Akan Lebih Fokus Perbaiki Kualitas Makan Bergizi Gratis
Demo 1 Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran Berjalan Aman, Massa Aksi Tegaskan Tuntutannya
SEMPRO, LMND dan Elemen Mahasiswa Banten Gelar Diskusi Evaluasi 1 Tahun Kinerja Pemerintahan Prabowo–Gibran
SWI: Jangan Biarkan Kekerasan Terhadap Jurnalis Menjadi Budaya Baru
40 Jenazah Korban Runtuhnya Gedung Musala Pesantren Al Khoziny Berhasil Diidentifikasi

Berita Terbaru