Oleh: Nazwar, S. Fil. I., M. Phil.*
Mengenali suatu akar persoalan adalah penting selain untuk penjelas sumber persoalan yang kian runyam dan kian kemari kian kusut, juga diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bagian dari langkah penyelesaian, setidaknya secara ilmu, selanjutnya dapat diamalkan. Termasuk terhadap konflik yang masih berlangsung sejak sekian lama yaitu di Palestina. Ajaibnya, konflik ini adalah dengan kaum yang paling sering disebut secara berulang-ulang dalam al-Qur’an kitab suci umat Islam sendiri dibanding kaum lain seperti Ada, Tsamud, Tubba’, Luth, Nasrani dan kaum-kaun lain, mereka adalah Yahudi dan/ atau Bangsa Israel.
Ada saja yang berasumsi, bahwa konflik antara orang Palestina dengan Yahudi atau bangsa Israel adalah bagian dari skema besar perjalanan manusia. Bagi yang “doyan” mengaitkan fenomena tersebut dengan Kiamat sembari menikmatinya seolah sebagai suatu pertunjukan, adalah bagian dari cara Yang Maha Kuasa membentuk karakter Muslim yang kelak akan berhadapan dengan Yahudi dalam perperangan akhir zaman. Pembentukan karakter (“caracter building”) yang melalui berbagai kejadian di tanah air yang diberkahi tersebut dalam rangka menghadapi orang Yahudi yang memang sejak dahulu dan kian kemari kina menjadi-jadi.
Menggali potensi dunia oleh orang Yahudi (juga oleh orang-orang Musyrik) merupakan suatu kebenaran baik secara teks maupun konteks yaitu kenyataan yang dapat ditemukan hingga hari ini, perlu dipahami bahwa ada kebaikan di sana. Meski sekedar keduniaan, kondisi ini dapat menjebak siapa siapa saja. Sebagaimana dikisahkan berupa kejadian yang dialami oleh Nabi Yusuf oleh saudara-saudaranya ketika di kerajaan di Mesir yang dipimpin oleh al-Aziz dahulu dengan strategi menanamkan jasa atau (perasaan) hutang budi.
Selanjutnya adalah menggali Akar Konflik di Palestina, apa sebenarnya kebenaran sesungguhnya serta bagaimana persoalan kian rumit saja?! Sekedar kepentingan dunia sebagai bagian yang dianggap sederhana telah disinggung sebelumnya, namun sebagai suatu persoalan yang sebut istilah di atas yaitu rumit, selain kepentingan berupa esensial dan eksistensial khas keduniaan, persoalan yang menarik untuk dipertimbangkan adalah yang menjadi inti yaitu religi, di mana bangsa-bangsa lain meski besar namun tidak dapat terlibat aktif dalam penyelesaian tertutup religi, seperti Jepang oleh Shinto, China oleh Konfusius/Kunghucu dan lain sebagainya.
Jika ditanya secara personal setiap manusia yang ada secara orang-perorang, bukan tidak mungkin jawaban yang sama akan muncul bahwa semua menghendaki persoalan di Palestina agar selesai. Artinya ada harapan akan kedamaian. Tidak semata dalam rangka menghidupkan keyakinan berupa kenyataan, langkah perwujudan kondisi yang harmoni sebenarnya bagian dari bentuk keadilan.
Mungkin orang-orang yang mendiami tanah penuh berkah tersebut saat ini bukanlah orang-orqng yang akan dibinasakan oleh Umat Muslim beserta balatentara sekalian alam terkecuali Ghorqot sebagai kejadian telah tiba masanya kebenaran sabda akan hal itu, namun mereka akan mengantarkan sekaligus membentuk karakter Yahudi yang kian memuncak. Yahudi saat ini bisa jadi menjadi bagian dari runutan secara keseluruhan sebab-sebab. Artinya tidak sekedar serta-merta namun ada juga sebab-musababnya.
Ada juga kemungkinan alasan lainnya. Sebab Allah juga tidak menghendaki kezaliman terhadap hamba-hambaNya (sebagaimana tersebut dalam al-Qur’an Surat Aali Imraan Ayat 182), termasuk adzab yang menimpa, maka ada hal yang mungkin menjadi penyebab kejahatan merajalela di Palestina, yaitu oleh kesalahan oleh beberapa kelompok atau orang yang menjadi penyebab atau sumber masalah. Terlepas mereka sengaja untuk menyembunyikan kebenaran tersebut dan tidak dijelaskan kepada umat manusia atau sebab terlanjur jauh memproduksi dosa sengacara sadar, kenyataannya perilaku mereka menjadi perantara berupa akan ditimpakan kepada mereka malapetaka yang jauh lebih besar dari sekedar kemanusiaan di akhirat kelak, “Na’uudzubillaah!” Maka perlu untuk tidak hanya didialogkan namun juga dijelaskan “duduk perkara”nya secara terang-benderang terutama oleh mereka yang ahli-ahli (terhadap Kitab mereka).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman masih dalam Surat Aali Imran, kali ini dalam ayat 187 sekaligus penutup ulasan dalam artikel ini untuk diharap manfaat dan diambil hikmahnya, berikut penulis cantumkan artinya:
“Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi Kitab (yaitu), “Hendaklah kamu benar-benar menerangkannya (isi Kitab itu) kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya (di antara keterangan yang disembunyikan itu ialah tentang kedatangan Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wa sallam),” lalu mereka melemparkan (janji itu) ke belakang punggung mereka dan menjualnya dengan harga murah. Maka itu seburuk-buruk jual-beli yang mereka lakukan.”
*Penulis Lepas Lintas Jogja Sumatera